protokol Kyoto 2005 yang berkomitmen dalam menjalankan agenda pembangunan berbasis energi hijau. Dari kesepatan yang salah satu isinya adalah memenuhi target net zero emisi pada tahun 2060 mendatang itu, sejumlah langkah, program dan kebijakan telah dijalankan yang pada dasarnya juga menguntungkan dalam perhitungan jangka panjang.Â
Indonesia menjadi salah satu penandatanganMeski pada saat bersamaan, sejumlah kendala dan hambatan juga tak kalah berat, karena di sana ada aspek transisi, dari penggunaan energi berbasis fosil BBM yang wujud industrinya sudah matang sehingga tidak bisa serta merta diganti kepada energi hijau.Â
Sebuah proses yang sangat disadari oleh pemerintah juga menyangkut ekonomi dan komunitas bisnis, khususnya otomotif yang sudah lama terbentuk. Pada bagian ini, pemerintah menyadari bahwa proses dan transisi menjadi faktor krusial  saat terjadinya perubahan tersebut. Mengingat dari sana pasti ada  ditinggal, meski tadinya adalah penopang utama.
Maka di bawah payung strategi pemberian dukugan kepada pertumbuhan ekonomi berlanjutan. Beragam langkah dan komitmen terus dijalankan agar pada saatnya kelak, ekonomi hijau bisa menjadi paradigma utama pemerintah dalam setiap keputusan yang diambil.Â
Hal itu tidak lain agar komitmen Net zero Emission 2060 itu bisa lebih cepat tercapai. Peluang untuk pencapaian target itu juga sangat potensial karena energi alternatif atau renewable energy memiliki cost competitive yang setara sekaligus dapat menjaga baseload yang diperlukan dalam pertumbuhan ekonomi.
Seperti dikatakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat berbicara secara virtual dalam  acara The Cooler Earth Sustainability Summit 2022 yang diselenggarakan oleh CIMB Niaga, beberapa waktu lalu.Â
Pembiayaan ekonomi hijau punya peran penting dalam mendukung transformasi ekonomi hijau Indonesia. Untuk itu dorongan bagi munculmya instrumen pembiayaan seperti Green Sukuk dan sejumlah pemanfaatan refinancing Green Sukuk dengan pengembangan pembangunan fasilitas dan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya, mikrohidro dan minihidro juga sangat mungkin untuk diterapkan.
"Instrumen alternatif seperti blended finance juga disiapkan, terutama skema pembiayaan dengan menampung dana dari filantropi atau swasta serta dari berbagai lembaga pengelola dana multinasional ataupun perencanaan seperti ADB atau World Bank. Â
Badan Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup juga telah didirikan untuk membantu pembiayaan pada program ekonomi hijau," jelas Menko Airlangga yang juga Ketua Umum Partai Golkar tersebut. Upaya Indonesia dalam pengembangan ekonomi hijau yang salah satu bentuknya adalah pengembangan proyek EBT (Energi Baru Terbarukan) Â juga direspon positif oleh sejumlah lembaga keuangan mancanegara.Â
Karena beberapa proyek tersebut ada yang mendapat bantuan pembiayaan dalam bentuk Development Finance Institution (DFI) dan Export Credit Agency (ECA).
Kerjasama itu sifatnya baru permulaan, karena  berdasarkan perhitungan pemerintah, pada tahun 2060 mendatang kebutuhan investasi Indonesia untuk sektor ini tidak kurang dari  Rp 77.000 triliun rupiah, agar  berbagai target net-zero emmissions di tahun 2060 itu bisa tercapai. Â
"Negara-negara lain tengah berlomba untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau, termasuk Indonesia. Ke depan, pangsa bahan bakar fosil akan berkurang dan energi bersih akan meningkat. Tentunya ini akan kita dorong untuk memperbaiki bauran energi," katanya lagi.
Maka pada bagian ini, dari sisi pemerintah, upaya lain  yang akan dilakukan adalah penguatan koordinasi serta integrasi. Karena dua hal ini menjadi faktor yang sangat penting jika ambisi dalam transisi dan transformasi  ekonomi hijau  ingin berjalan sesuai harapan. Karena transformasi tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah, tetapi juga tanggung jawab seluruh stakeholder.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H