krisis geopolitik dari negara-negara yang berdekatan, membuat peta jalan menuju apa yang dicita-citakan para pendiri bangsa seolah-olah masih jauh dari gambaran yang diinginkan, meski kemerdekaan sudah diraih sejak 77 tahun lalu.
Bukan hal mudah untuk menjadi bangsa dengan kondidi geografis seperti Indonesia. Dengan posisinya yang terbagi dalam tiga daerah waktu, ribuan kilometer garis pantai dan belasan ribu pulau, serta pengaruh geopolitik negara-negara sekitar, membuat ragam persoalan dan masalah dalam tata kelolanya menjadi tidak sederhana. Itu belum lagi jika bicara dalam kaitan  imbasDari perjalanan lebih dari 3/4 abad kemerdekaan tersebut, serta peta jalan dari "jembatan emas" sebagaimana yang dinarasikan dalam pembukaan Undang-Undang itu, muncul refleksi sekaligus pertanyaan, sudah sejauh mana atau sudah seberapa banyak yang berhasil dicapai bangsa ini? Karena dengan kekayaan luar alam yang luar biasa, potensi darat dan laut yang belum sepenuhnya tergarap alih-alih merasakan kemakmuran, namun yang muncul lebih banyak adalah rasa kecewa, karena yang mengemuka lebih banyak kisah nelangsa. Meski hal demikian lebih kepada masalah cara pandang,  karena di luar persoalan-persoalan yang ada tersebut, kemampuan bertahan sebagai sebuah bangsa dengan kompleksitas manusia, masalah, budaya, agama dan kondisi geografis yang diakui sangat beragam, mempertahankan Indonesia sebagai sebuah kesatuan adalah dengan ragam masalah tersebut adalah  juga sebuah prestasi.Â
Sebuah prestasi yang kadang dipandang sebagai sesuatu yang taken for granted, alias "sudah dari sono"nya, kata sebagian orang. Sehingga tak jarang masih banyak yang abai, bahwa semua itu sudah menjadi capaian terbaik. Padahal, jika berpikir sebaliknya, kekayaan dan segala potensi yang dimiliki itu justru seharusnya jadi peluang sebagai batu pijakan kepada satu tahapan lanjut menuju Indonesia yang dicita-citakan sejak para bapak bangsa mendirikan negara ini.
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, mengapa kondisi dan keuntungan yang dimiliki itu tak kunjung berhasil dimanfaatkan, sehingga sampai hari ini rasanya perjalanan bangsa ini kok begini-begini saja. Karena tak seperti sejumlah bangsa lain di Asia yang berdiri dan bangkit untuk menentukan nasib sendiri, capaian yang diperoleh harus diakui telah membuat iri. Apalagi dibandingkan dengan sejumlah negara seperti Jepang, Korea dan Singapura yang sumber daya alamnya relatif terbatas, maka  apa yang telah diperoleh Indonesia rasanya membuat miris. Atau kalau mau diturunkan lagi, seperti dengan Vietnam atau Thailand yang  mana keduanya praktis secara budaya dan sejarah masa lalu agak mirip dengan kita, dua negara Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN itu jauh lebih baik dibanding Indonesia dalam sejumlah pencapaian.
Menurut Laksama Sukardi, eks Menteri BUMN era presiden Megawati, apa yang saat ini dicapai negara-negara tersebut dengan memperbandingkanya dalam pencapaian yang telah diraih Indonesia hari ini, seperti berada diantara  "langit dengan sumur". Satu  berada jauh diatas awan.Sementara yang kedua, ada dan berada puluhan meter dari tempat kita berpijak.
Menurutnya, Indonesia memang sempat hampir disejajarkan dengan Korea, digadang-gadang sebagai macan Asia, mengingat pertumbuhan ekonomi kala itu disebut sangat mengesankan. Namun semua berakhir dalam cerita kosong, menyusul krisis monter 1998, yang merontokkan seluruh bangunan yang telah dibuat oleh pemerintahan presiden Soeharto. Bangunan yang runtuh sebagai buah dari kekuasaan panjang penguasa Orde Baru tersebut membuat Indonesia turun kelas secara pendapatan per kapita dan negara berpenghasilan menengah, turun lagi menjadi negara miskin.
Kini lebih dari 20 tahun setelah peralihan kekuasaan itu terjadi, presiden pun sudah berganti sebanyak empat kali, namun capaian yang dulu pernah ada tak kunjung bisa disamai lagi. Bahkan, dalam beberapa kasus dan persoalan kita justru sejajar dengan beberapa negara miskin yang tadinya dibawah seperti Vietnam, Kamboja dan  Bangladesh.
Menjadi pertanyaan berikutnya adalah, mengapa itu bisa terjadi, padahal dengan segala modal dan potensi yang dimiliki, Indonesia semestinya sudah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah, tetap tertahan diantara negara-negara dengan pendapatan rendah.
Ternyata, menurut eks Fungsionaris partai berlambang banteng tersebut, aspek terbesar yang jadi penghambat kemajuan itu ada pada produktivitas sumber manusia yang  jauh lebih rendah dari negara-negara tetangga yang telah maju relatif itu.
Terhambatnya kemampuan meningkatkan produktifitas itu terjadi karena belenggu  'Lima Kesalahan" atau "Pancasalah". Yaitu salah kaprah, salah lihat, salah asuh, salah tafsir, dan salah tata kelola.  Perhatiannya kepada lima kesalahan itu pula yang membuat Laksamana tergerak untuk  menuangkannya dalam satu pemikiran utuh berwujud buku yang diberinya, judul "Pancasalah".
"Buku ini merupakan hasil pemikiran saya hasil rangkuman dari studi literatur dan berbagai  diskusi formal serta diskusi tidak formal  (diskusi kelompok whatsapp).  Ditambah pengalaman kala menekuni bidang ekonomi sebagai  bankir profesional dan keterlibatan saya dalam gerakan  reformasi 1998 di Indonesia. Selain itu juga bertugas sebagai Menteri  Kabinet Gotong Royong Republik Indonesia (1999-2004)  yang bertanggung jawab dalam restrukturisasi ekonomi  dan dunia usaha di Indonesia, sangat memberikan  kontribusi pemikiran yang saya tuangkan dalam buku  ini," papar Laksamana.