Hingga hari ini narasi buruk serta kampanye negative masih terus menyerang industri sawit dalam negeri. Setiap periode, isu yang dilemparkan selalu berbeda-beda. Kalau pada awalnya komoditas ekspor ini  diserang dengan wacana  sebagai sumber penyakit bagi tubuh karena mengandung banyak kolesterol, dan kolesterol adalah salah satu penyebab munculnya sakit jantung. Penyakit jantung adalah salah satu penyakit dengan tingkat kematian pasien tertinggi di  dunia.
Namun belakangan, sejumlah penelitian menyebut bahwa kolesterol yang terkandung dalam minyak kelapa sawit  bukan jadi penyebab utama penyakit mematikan tersebut.
Sadar bahwa kampanye dan upaya pembohongan terbongkar, maka isu lain segera dimunculkan. Kali ini lewat isu pelestarian alam. Negara-negara maju, khususnya Eropa yang sangat "peduli"dengan isu lingkungan ini, melalui Yayasan atau LSM mereka yang punya kantor perwakilan di Indonesia sejak akhir tahun 2000 an dengan gencar menyebut industri kelapa sawit adalah penyebab utama deforestasi alias penggundulan hutan.
Dengan ragam narasi serta para proxy mereka yang ada di Indonesia tersebut, keunggulan sawit dicoba ditutupi. Isu negative yang terus menerus dihembuskan tak jarang, membuat apa yang menjadi keunggulan  dari  industri kelapa sawit  yang berkembang pesat di Indonesia sempat redup dan menjadi kambing hitam dari hampir seluruh persoalan lingkungan tanah air.
Kini setelah narasi tersebut mulai mendapat jawaban dan pembuktian sebaliknya, upaya untuk terus menekan sawit Indonesia belum juga berhenti .Bahkan dalam dua tahun terakhir, Â upaya meminggirkan kelapa sawit mulai digarap pada tataran yang lebih tinggi, yakni di tingkat regulator alias negara.
Fakta itu terlihat dari keputusan Uni Eropa yang dengan aturan RED  (renewable energy directive) II yang sengaja menyasar sawit  yang tak ikut green energy untuk dikuluarkan dari program biodiesel atau biofuel. Atau dengan kata lain, komisi Eropa serta Uni Eropa secara resmi menyebut kelapa sawit tak bisa jadi bagian program green energy. Pemberlakuan aturan tersebut ditetapkan pada tahun 2023  nanti dimana  minyak sawit  tak lagi boleh di gunakan sebagai bahan baku energi terbarukan di Uni Eropa.
Sejatinya, pembatasan tersebut melanggar salah satu prinsip perdagangan bebas yang diawaki oleh Badan Perdagangan Dunia atau WTO (World Trade Organization). Karena bersamaan dengan itu, Eropa dan sejumlah negara lain seperti Amerika Serikat dan Brasil punya produk minyak nabati dari bahan baku lain, seperti minyak bunga matahari dan kedelai. Padahal, ragam penelitian membuktikan komoditas tersebut secara kualitas dan kuantitas ekonomi kalah jauh atau punya harga produksi lebih mahal dan memakan lahan lebih luas dibandingkan sawit.
Atau secara hidden agenda, aturan RED II tersebut adalah cara negar competitor untuk membatasi pengembangan minyak nabati dari kelapa sawit yang produsen utamanya adalah Indonesia dan Malaysia.
Negara-negara tersebut wajar saja terus mengkampanyekan sisi negative sawit dengan isu lingkungan, karena dengan narasi tersebut laju perdagangan sawit dunia bisa dihentikan, terlepas dari dari aturan perdagangan di dunia yang disepakati dalam World Trade Organization (WTO).
Kalau untuk luar negeri kampanye, lobi dan perundingan bahkan masuk ke ruang pengadilan masih di jalankan?, bagaimana untuk dalam negeri?
Beragam serangan tersebut sejatinya tidak didiamkan saja oleh para stake holder terkait di tanah air. Beragam upaya telah dilakukan untuk mencoba menunjukkan bukti bahwa kelapa sawit dibudidayakan dengan ramah lingkungan pun dilakukan. Beragam skim  ketat yang diterapkan di perkebunan kelapa sawit nasional diadopsi.  Tujuan utamanya tentu untuk memperbaiki tata kelola sawit yang memihak kepada pelestarian lingkungan, serta menjadi jawaban untuk pihak luar yang menjual narasi kerusakan sebagai dagangan utama.
Karena menjadi produsen utama dunia, Indonesia menerapkan pola sawit berkelanjutan, pertama Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Namun untuk korporasi, ada juga yang mengkuti Roundtable on Sustaiable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC).
Dengan sertifikasi ISPO tersebut yang skema kerjanya sama dengan RSPO, maka Indonesia juga masuk sebagai negara  produsen minyak sawit berkelanjutan (CSPO) di dunia, dari catatan produksi CSPO asal Indonesia per bulan Juni 2019 mencapai 7.819.243 ton, berasal dari sebanyak 195 pabrik kelapa sawit (PKS) bersertifikat. Angka itu, belum memperhitungkan PKS independen.
Namun demikian,  walau ada  rekam jejak minyak sawit berkelanjutan dari beragam skim, diakui atau tidak narasi negatif itu akan terus muncul. Karena tujuan utamanya adalah membunuh meminggirkan komoditas strategis andalan Indonesia ini dari pasar dunia.
Kita tentu tidak mau kejadiann yang dialami oleh sejumlah komoditas lain seperti karet, tembakau, kopi, lada dan beberapa produk perkebunan yang Indonesia sempat menjadi produsen utama dunia  lesu untuk kemudian mati.Â
Harapan kita itu jangan sampai terulang pada industri ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H