Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Apa Kabar Setahun Moratorium Sawit?

28 Oktober 2019   15:27 Diperbarui: 28 Oktober 2019   15:32 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Banyak harapan masyarakat sipil terhadap kebijakan pemerintah yang lewat Inpres Nomor 8/2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Semuanya  bertujuan agar bisnis perkebunan ini tetap bisa memberi nilai signifikan kepada pelestarian alam, disamping manfaat ekonomi yang sudah dirasakan cukup  selama ini.

Tujuan utama dari penundaan izin perkebunan sawit yang diberlakukan selama tiga tahun tersebut antara lain adalah,  menyelesaikan dan menata  industri sawit dan sektor usaha terkait lain. Caranya, dengan verifikasi, evaluasi perizinan, penegakan hukum dan pemulihan kawasan hutan.

Dari spirit yang terkandung dalam beleid tersebut, dapat dibayangkan  kuatnya taring  serta bobot yang dimiliki dalam  menyelesaikan sengkarut permasalahan sawit. Hanya saja,  setahun setelah program pemerintahan presiden Joko Widodo ini masih jauh dari harapan. Itu tak lain karena petunjuk teknis dan kejelasan aplikasi di lapangan yang belum tersedia. Ini terlihat dari fakta dimana masih ditemukannya pembukaan lahan baru karena izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang secara langsung tak mengacuhkan aturan pelarangan dari institusi yang lebih tinggi.

Itu terlihat dari surat da HGU  yang dikeluarkan  menteri ATR/BPN masih menerbitkan HGU kepada perusahaan sawit PT. Permata Nusa Mandiri di Kabupaten Jayapura pada November 2018.

Meski pada sisi lain, inpres tersebut relative bermanfaat seperti yang terjadi di Suku Awyu, Distrik Fofi, Boven Digoel, Papua. Inpres moratorium bermanfaat melawan rencana ekspansi dan menunda bisnis perkebunan sawit di wilayah adat mereka.

Oleh sebagian pegiat lembaga non pemerintah, selain kekuatan yang masih separo-separo, pelaksana teknis aturan tersebut sebaiknya juga mulai membuka diri terhadap masukan dari masyarakat. Karena pada tataran praktis, kesuksesan program tersebut tak semata tergantung kepada  tim teknis, birokrat yang cenderung menggantungkan putusan berdasarkan analisis diatas kertas.

Padahal, spirit Inpres Moratorium ini sudah jauh lebih maju dibanding kebijakan lain  yang pernah ada, seperti karena tak seperti Inpres Moratorium Izin Hutan Primer dan Lahan Gambut. Atura ini,  juga   berbicara mengenai evaluasi perizinan, yang itu tak dimiliki oleh aturan yang lebih dahulu muncul. Walau disana sini masih ada kelemahan seperti belum masuknya masyarakat sipil di dalamnya. Selain juga belum ada kewajiban laporan berkala kepada presiden, jika sewaktu-waktu diminta presiden.

Meski demikian, dibalik ragam kekurangan yang dimiliki, kehadiran Inpres moratorium ini sejatinya sudah memberi sejumlah perubahan signifikan.

Ini terlihat dari apa yang telah dilakukan oleh  Menteri Koodinator Bidang Perekonomian selaku koodinator inpres,  misalnya dengan membentuk tim kerja penundaan dan evaluasi perizinan perkebunan sawit. Kemudian, menyusun standar minimum kompilasi data, menyusun rencana kerja pemetaan luas perkebunan sawit nasional.

Kemenko Perekonomian juga menunjuk tujuh provinsi prioritas, yakni, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Namun dua provinsi dengan tutupan terbanyak di perkebunan kelapa sawit yakni Papua dan Papua Barat tidak diikutsertakan.

Selama ini Kemenko lebih memfokuskan diri pada tataran perumusan kebijakan serta penataan instrument pendukung.  Seperti konsolidasi dan rekonsiliasi data perkebunan sawit di Indonesia yang akan teringrasi dalam Kebijakan Satu Peta berbentuk IGT tematik sawit.

Akibat masih belum level teknis, maka kementerian teknis pun tak bisa melakukan eksekusi langsung dari mandat Inpres, kecuali hanya baru pada batas panduan pelaksanaan.

Meski begitu,  gerak pembatasan pemberian izin perluasan juga sudah ada yang terlaksana. Seperti  putusan yang dikeluarkan oleh  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menunda penerbitan izin baru pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. KLHK menyebut telah menunda pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit 950.000 hektar.

KLHK sudah membentuk tim penyusunan langkah-langkah pelaksanaan inpres moratorium sawit terdiri dari para pakar. KLHK tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) berisikan langkah-langkah penyelesaian perkebunan sawit berdasarkan masukan tipologi penyelesaian sawit di kawasan hutan usulan sejumlah yayasan lingkungan seperti Yayasan Kehati dan  WWF,

Ada juga hambatan lain dalam implementasi  moratorium ini antara lain karena kekurang lengkapan data serta sinkronisasi yang minim dan itu umunmya berhulu pada faktor kelembagaan. Ini berujung pada ego sektoral masing-masingnya yang bermula karena pengendali tertinggi yang dimiliki Kemenko Perekonomian hanya menempatkan  asisten deputi sebagai ketua tim teknis, hingga wewenang kurang kuat.

Adapun terkait capaian di tingkat daerah, mulai tampak di berbagai daerah meskipun belum begitu banyak. Papua Barat, misal, membuat komitmen Deklarasi Manokwari. Lewat deklarasi ini, mereka bertekad meningkatkan fungsi lindung hinggal 70% dalam alokasi pola ruang provinsi.

Untuk mengatasi ragam masalah yang masih ditimbulkan, maka sudah saatnya pemerintahan Presiden Joko Widodo memerintahkan kementerian dan lembaga terkait secepatnya membuat peta jalan satu pintu moratorium sawit.  Peta jalan itu menjadi perlu sebagai alat agar efektifitas  proses moratorium sawit  bisa dilakukan secara maksimal hingga tak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran. Selain itu, peta jalan juga perlu untuk peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat.

Dari ragam persoalan diatas, bisa diketahui bahwa Inpres moratorium tersebut sifatnya baru jadi pembuka untuk penataan industri sawit secara keseluruhan. Karena cakupan masalah dan penyelesaian yang diperlukan bersifat multi sektoral dan mensyaratkan keterrbukaan, sekaligus kesediaan para pihak untuk duduk bersama menyelesaikan kendala yang ada.

Sebab jika para pihak terkait masih berkukuh dengan kepentingan masing-masing, maka persoalan lain yang seharusnya bisa terselesaikan sejak dini, akan menjadi santapan dan kampanye pihak luar untuk kembali menempatkan Indonesia sebagai biang perusak alam dunia.

Sebuah tuduhan yang sebelumnya sudah sering terdengar, fakta yang sejatinya lebih besar dalam suara, namun kecil dalam fakta.

Tapi membiarkannya diredam secara diam-diam juga akan menimbulkan persoalan, karena kondisi tersebut ibarat api dalam sekam. Kata kuncinya kerja keras dan tak menganggap masalah selesai hanya dengan Inpres saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun