Selama ini Kemenko lebih memfokuskan diri pada tataran perumusan kebijakan serta penataan instrument pendukung. Â Seperti konsolidasi dan rekonsiliasi data perkebunan sawit di Indonesia yang akan teringrasi dalam Kebijakan Satu Peta berbentuk IGT tematik sawit.
Akibat masih belum level teknis, maka kementerian teknis pun tak bisa melakukan eksekusi langsung dari mandat Inpres, kecuali hanya baru pada batas panduan pelaksanaan.
Meski begitu,  gerak pembatasan pemberian izin perluasan juga sudah ada yang terlaksana. Seperti  putusan yang dikeluarkan oleh  Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menunda penerbitan izin baru pelepasan atau tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan sawit. KLHK menyebut telah menunda pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit 950.000 hektar.
KLHK sudah membentuk tim penyusunan langkah-langkah pelaksanaan inpres moratorium sawit terdiri dari para pakar. KLHK tengah menyusun rancangan Peraturan Presiden (Perpres) berisikan langkah-langkah penyelesaian perkebunan sawit berdasarkan masukan tipologi penyelesaian sawit di kawasan hutan usulan sejumlah yayasan lingkungan seperti Yayasan Kehati dan  WWF,
Ada juga hambatan lain dalam implementasi  moratorium ini antara lain karena kekurang lengkapan data serta sinkronisasi yang minim dan itu umunmya berhulu pada faktor kelembagaan. Ini berujung pada ego sektoral masing-masingnya yang bermula karena pengendali tertinggi yang dimiliki Kemenko Perekonomian hanya menempatkan  asisten deputi sebagai ketua tim teknis, hingga wewenang kurang kuat.
Adapun terkait capaian di tingkat daerah, mulai tampak di berbagai daerah meskipun belum begitu banyak. Papua Barat, misal, membuat komitmen Deklarasi Manokwari. Lewat deklarasi ini, mereka bertekad meningkatkan fungsi lindung hinggal 70% dalam alokasi pola ruang provinsi.
Untuk mengatasi ragam masalah yang masih ditimbulkan, maka sudah saatnya pemerintahan Presiden Joko Widodo memerintahkan kementerian dan lembaga terkait secepatnya membuat peta jalan satu pintu moratorium sawit.  Peta jalan itu menjadi perlu sebagai alat agar efektifitas  proses moratorium sawit  bisa dilakukan secara maksimal hingga tak terjadi tumpang tindih aturan birokrasi dan anggaran. Selain itu, peta jalan juga perlu untuk peningkatan produktivitas perkebunan sawit rakyat.
Dari ragam persoalan diatas, bisa diketahui bahwa Inpres moratorium tersebut sifatnya baru jadi pembuka untuk penataan industri sawit secara keseluruhan. Karena cakupan masalah dan penyelesaian yang diperlukan bersifat multi sektoral dan mensyaratkan keterrbukaan, sekaligus kesediaan para pihak untuk duduk bersama menyelesaikan kendala yang ada.
Sebab jika para pihak terkait masih berkukuh dengan kepentingan masing-masing, maka persoalan lain yang seharusnya bisa terselesaikan sejak dini, akan menjadi santapan dan kampanye pihak luar untuk kembali menempatkan Indonesia sebagai biang perusak alam dunia.
Sebuah tuduhan yang sebelumnya sudah sering terdengar, fakta yang sejatinya lebih besar dalam suara, namun kecil dalam fakta.
Tapi membiarkannya diredam secara diam-diam juga akan menimbulkan persoalan, karena kondisi tersebut ibarat api dalam sekam. Kata kuncinya kerja keras dan tak menganggap masalah selesai hanya dengan Inpres saja.