Pemerintah sudah menetapkan upaya  pengalihan konsumsi sumber energi  penggarak kendaraaan, mesin dan aktiftitas mobile lainnya dari BBM bahan fosil kepada bahan alam alias minyak nabati yakni kelapa sawit. Itu ditandai dengan akselerasi uji coba pemakaian biodiesel kadar 30 persen  (B30) lebih cepat dari yang direncanakan.
Keputusan tersebut didasari oleh sejumlah pertimbangan, terutama kepada penghematan devisa negara. Pasalnya, dengan menggunakan campuran dari kelapa sawit, Indonesia bisa menghemat devisa dari impor bahan bakar solar yang dibeli dengan mata uang  dolar AS  setiap harinya .
Meski  baru digencarkan  pada  September 2018 lalu berupa peningkatan kadar campuran dari 10 persen (B10) menjadi B20, namun  dampak positif kepada neraca keuangan negara langsung  terasa. Itu bisa dilihat dari data yang dikeluarkan  Kementerian ESDM pada akhir tahun lalu dimana total devisa yang mampu dihemat tidak kurang dari  Rp 26,51 triliun.
Sejatinya  program ini sudah dicanangkan pada  pemerintah presiden SBY  sejak 2005. Meski sudah resmi jadi program pemerintah, namun secara diam-diam justru dimusuhi, bahkan menjadi anak tiri. Kenapa demikian?,  karena program tersebut secara langsung menutup pundi-pundi dolar sejumlah pihak.
Penganaktirian itu terlihat sejak dari tata kelola, pengaturan, serta periodesasinya.  Saat dimulai,  periode pengembangan biodiesel ini sengaja dibuat dalam rentang waktu panjang, yakni 25 tahun.  Untuk tahap pertama saja  (tahun 2006), uji coba pencampuran minyak nabati dengan BBM jenis solar itu hanya sampai  2 persen. Selain kandungan nabatinya sangat kecil, sifatnya pun bukan mandatory  (wajib), melainkan PSO (Public Service  Oblige)  alias suka rela, itupun hanya berlaku kepada perusahaan migas BUMN dan swasta yang beroperasi di Indonesia, belum untuk masyarakat umum.
Tujuannya  adalah, agar  BBM bahar bakar fosil, khususnya solar tetap jadi konsumsi utama sekaligus primadona impor. Akibatnya, jadilah perjalananya laksana keong. Karena hingga tahun 2009, uji coba program ini baru mencapai tahap 5 persen. Padahal berdasarkan roadmap yang sudah ditentukan.  Tahun itu, pencampuran sawit dalam BBM solar sudah harus mencapai 10 persen.
Namun sebuah blessing in disguise muncul untuk program ini. Saat harga minyak mentah dunia meroket sampai mendekati 140 pada tahun 2008, maka program ini mendapat kesempatan untuk langsung mencobanya pada campuran 7 persen. Itu tak lain karena APBN pemerintah yang harus jatuh bangun lantaran devisa negara banyak tersedot untuk impor BBM tersebut.
Jika saja harga minyak dunia tidak meroket dan harga komoditas lain tak merosot, sehingga APBN tetap sehat, maka bisa dipastikan program ini akan tetap jalan beringsut tadi.
Karena dengan APBN yang cukup, maka impor minyak tetap jadi andalan yang itu, adalah arena bancakan sejumlah pihak yang sering disebut mafia migas. Â Sebab, merekalah yang menempatkan Indonesia sebagai negara sasaran impor dari negara-negara lain, seperti Singapura Dan Indonesia akan tetap menjadi sasaran impor minyak khusunya dari negara tetangga.
Sebagai gambaran kasar, sejak pemerintah membubarkan PT Pertamina Trading Limited (Petral) pada 13 Mei 2015 silam dan Pertamina langsung yang bertindak selaku importer, Indonesia bisa menghemat rupiah tidak kurang dari Rp250 miliar per hari.
Maka atas dasar itu pula, selain karena kondisi keuangan negara yang juga relative berat, mengingat presiden Jokowi secara agresif menggenjot pembangunan infrastruktur, program Biodiesel ini menjadi prioritas.Â