Beruntung, masalah produktifitas ini sudah menjadi perhatian pelaku sawit tanah air. Â Itu terlihat dari penyataan Ketua Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) Joko Supriyono yang mengakui bahwa produktifitas kelapa sawit Indonesia yang terbilang rendah.
Data keluaran GAPKI Â menyebuttkan dalam kurun waktu antara tahun 2008 hingga 2017, lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia tumbuh 6 persen setiap tahun. Namun pertumbuhan tersebut tidak berbanding lurus dengan produktifitas, karena pada periode yang sama, hasil panen kelapa sawit hanya naik 3 persen per tahun. Jumlah itu setara dengan rata-rata produksi 11 ton TBS (tandan buah segar) per hektar.
Padahal dengan rata-rata perluaran lahan yang tiap tahunnya naik 5 persen itu, maka produksi kelapa sawit idealnya tidak kurang dari 25 ton TBS dari setiap hektarnya.
Dalam pandangan Gapki, kondisi itu terjadi karena  dunia  usaha tidak menggunakan riset yang kerap dilakukan kalangan perguruan tinggi. Karena dari hasil penelitian labor akademis lah sebenarnya, solusi utama peningkatan produktifitas kelapa sawit itu bisa lebih ditingkatkan lagi.
Pesan yang harus dibaca adalah, bahwa para stakeholder kelapa sawit dalam negeri sudah harus lebih memperhatikan aspek produktifitas ini. Karena, pada saat kondisi tak sesuai harapan, maka sekian banyak keunggulan komparatif yang sebelumnya dimiliki, bisa berbalik menjadi senjata makan tuan.
Keunggulan tersebut tetap  bisa menjadi senjata andalan, manakala masalah prinsip dan mendasar pada bisnis usaha ini sudah lebih dahulu diperbaiki atau berada dalam kondisi siap menopang kelebihan-kelebihan tersebut diatas. Maka urusan produktifitas adalah salah satu nyawa utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H