Mohon tunggu...
Anak Tansi
Anak Tansi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang perantau yang datang ke ibu kota karena niat ingin melihat dunia lebih luas dari Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Menyelaraskan Komunikasi Sawit Indonesia dan India

11 Juni 2019   00:18 Diperbarui: 11 Juni 2019   00:29 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Salah satu isu penting dalam persoalan industry sawit Indonesia dan dunia adalah penerapan label berkelanjutan. Penerapan RED II yang sudah diberlakukan Eropa terhadap produk biodiesel Indonesia adalah menyasar pada masalah ini. Dikatakan oleh Uni Eropa Biodiesel Indonesia tak menerapkan standar mereka seperti yang diberlakukan oleh RSPO Roundtable on Sustainable Palm Oil, dan sebaliknya menilai ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) tak layak jadi label untuk sertifikasi.

Hal serupa juga dialami Indonesia dalam hubungan ekspor ke salah satu pangsa pasar utama sawit dunia yakni India.Pasalnya, negeri Bollywood tersebut juga punya standar label berkelanjutan sawitnya sendiri yang disebut Sustainable Palm Oil Coalition for India (SPOC-India).

Bagi Indonesia, keputusan India memberlakukan SPOC bisa seperti pisau bermata dua, menguntungkan sekaligus merugikan.

Menguntungkan, karena secara prinsip ISPO dan SPOC India secara prinsip telah menjalankan apa yang selama ini telah menjadi standar bagi RSPO yang lebih diakui Uni Eropa.

Namun itu juga berarti hambatan untuk kelancaran ekspor sawit Indonesia ke negara tersebut, jika lobi dan komunikasi tak segera digencarkan oleh pemerintah dan pelaku usaha tanah air.

Karena sejak jauh hari,sawit Indonesia kerap mendapat perlakuan tidak adil dalam hal memasarkan produk ini ke negara tersebut. Sudah sejak lama diketahui. India kerap menghambat ragam produk sawit Indonesia masuk ke negara mereka dengan beragam cara. Mulai dari pengenaan tariff masuk lebih tinggi dibanding Malaysia yang berjumlah 40 persen.

India menerapkan bea masuk sebesar 40% terhadap produk CPO Indonesia. Adapun pungutan untuk minyak sawit olahan dipangkas dari sebelumnya 54% menjadi 50%, atau lebih tinggi dari CPO Malaysia sebesar 45%.

Akibat kebijakan tersebut pada 2018, ekspor CPO Indonesia ke India menurun 12 persen ketimbang 2017 lalu. Pada tahun lalu, Indonesia hanya mengekspor 6,71 juta ton CPO ke India, sedangkan di 2017 lalu jumlah ekspor Indonesia mencapai 7,63 juta ton.

Indonesia tentu tidak bisa serta merta membalas aksi tersebut atau retaliasi, komunikasi dan perundingan  atau negosias langsung tetap harus menjadi prioritas.

Salah satu yang sudah terwujud adalah terwujudnya kesepakatan antara lembaga  Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI),  denga The Solvent Extractors 'Association of India (SEA) dan Solidaridad.  Diharapkan  kesepakatan tersebut bisa menjadi  menjadi pintu bagi pertukaran informasi perdagangan antara India dan Indonesia.

Atau dalam bahasa Delrom Bangun selaku Ketua DMSI, kesepakatan  antara dua asosiasi negara ini bisa menjadi wahana bagi kedua belah untuk duduk bersama dalam membicarakan masalah yang dihadapi sekaligus  mencari solusi.

Menurut  DMSI, pihaknya membuka diri terhadap SEA karena lembaga tersebut adalah organisasi terbesar di India dan merupakan mitra utama pemerintah India, sehingga dengan demikian, SEA bisa menjadi jembatan komunikasi antara kebutuhan pasar dengan pemerintah India.

Nota kesepahaman tersebut berisi sejumlah kesepakatan antara lain, Kedua belah pihak  akan melakukan promosi minyak sawit berkelanjutan di pasar India melalui kampanye standar ISPO dan IPOS.

Kedua, membentuk Komite Kerja Sama Kelapa Sawit Indonesia- India untuk memfasilitasi komunikasi kedua pemerintah, sekaligus untuk meningkatkan kerja sama dalam hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan. Terakhir, meningkatkan partisipasi petani kecil dalam menerapkan praktik minyak sawit berkelanjutan (ISPO dan IPOS).

Pada akhirnya, target utama nota kesepahaman tersebut bagi Indonesia adalah  menjadikan India  tetap sebagai konsumen utama produk sawit Indonesia.  Jangan lagi terhambat apalagi menurun, karena itu berarti penambahan masalah untuk sawit dalam negeri yang di pihak lain harus berhadapan dengan hambatan pemasaran biodiesel ke kawasan Uni Eropa pascar pemberlakuan RED II

Karena data GAPKI (Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia) mengungkapkan, total nilai ekspor sawit Indonesia ke India pada tahun  2018, ditengah beragam kendala yang dialami tercatat sebesar US$ 135 juta (Rp 1,97 Triliun), atau turun sebesar 12 persen dibanding tahun 2017 yg tercatat 6,71 juta ton itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun