Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan genap berusia 20 tahun pada 13 Agustus nanti. Setelah mengudara sekian lama, Mahkamah Konstitusi sudah menurunkan banyak keputusan besar yang membawa angin positif bagi masyarakat di Indonesia.Â
Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi memiliki empat wewenang sesuai Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003, yaitu menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Namun tentu sebagai hakikat dari hal duniawi, ada kegagalan dalam sepak terjangnya.
Pada tahun 2014, ketua Mahkamah Konstitusi (MK) kala itu, Akil Mochtar tersandung kasus korupsi. Hal ini membuat masyarakat sejenak mempertanyakan kredibilitas dari MK. Pada 16 Maret 2016, Arief Hidayat selaku ketua MK selanjutnya mengungkapkan pada masyarakat Indonesia di Dubai bahwa kepercayaan masyarakat pada mahkamah Konstitusi turun dari 80 persen ke angka belasan persen. Kejatuhan angka tersebut tentu menjadi tugas besar bagi MK untuk dikerjakan.
Dengan seiring berjalannya waktu, Mahkamah Konstitusi mampu menunjukkan bahwa mereka masih layak untuk dipercaya. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana MK menangani perkara perselisihan hasil pilkada pada tahun 2015, terpilihnya MK sebagai wakil benua Asia untuk tergabung dalam Badan Pekerja World Conference of Constitutional Justice (WCCJ) atau Biro WCCJ Periode 2017-2020, juga banyak hasil kerja lainnya. Mahkamah Konstitusi tampak sadar akan posisinya yang berada di dalam Low Trust Society sehingga terus menciptakkan gebrakan besar.
Namun ada masalah baru yang menimbulkan pertanyaan, akankah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia akan kembali menghadap masa kegelapannya?
Kemunculan pertanyaan tersebut didorong oleh adanya omnibus law yang pertama kali muncul dalam pidato Pak Jokowi pada 20 Oktober 2019. Sedikit perjalanan omnibus law, pada 17 Desember 2019, pemerintah memulai perjalanannya dengan membentuk Satgas Omnibus Law. Pada Februari 2020, presiden Jokowi mengirimkan draf Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja kepada DPR. Kemudian 2 April 2020, RUU Cipta Kerja baru mulai dibahas DPR dalam rapat paripurna.
Saat kemunculannya, RUU cipta kerja memiliki banyak pasal bermasalah yang menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat. Beberapa dari pasal bermasalah tersebut adalah pasal 77A yang memungkinkan peningkatan waktu lembur pada sektor tertentu, penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) pada pasal 88C yang memungkinkan penyamaan upah minimum tiap daerah terlepas dari biaya hidupnya, potensi pembatasan pers lewat pasal 11, dan banyak lagi. Dengan itu permasalahan RUU Cipta Kerja bukan hanya tentang ketenagakerjaan, melainkan juga lingkungan hidup, pers, bahkan sampai pendidikan.
Mendengar jeritan masyarakat yang kian kuat, Mahkamah Konstitusi merespon dengan mengabulkan sebagian permohonan uji formil, atau pengujian proses pembentukan UU/Perpu terhadap UUD 1945, terhadap UU Cipta Kerja dengan menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusionalitas bersyarat. Hal tersebut dikarenakan Mahkamah hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Kabar gembira tersebut membuktikan keberpihakan Mahkamah Agung yang masing condong pada masyarakat sebagaimana lembaga publik seharusnya.
Seakan tergesa-gesa seperti bagaimana pemerintah menerbitkan omnibus law, para buruh kembali mengajukan gugatan Judical Review terhadap RUU Cipta Kerja. Presiden partai buruh Said Iqbal mengatakan pihaknya akan mengajukan gugatan paling cepat pada 15 April 2023. Gugatan tersebut meliputi uji materiil dan uji formil. Uji formil dikarenakan pembuatan Undang-Undang tidak melibatkan publik, sementara uji materiil dikarenakan terdapat sejumlah poin yang merugikan buruh.
Kabar terbaru dari Mahkamah Konstitusi lagi-lagi menjawab tuntutan rakyat. Pada 21 Juni 2023, Mahkamah Konstitusi menetapkan memisahkan uji formil dan menunda sidang uji materil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Hal ini sebagai balasan permohonan dari 121 pemohon yang terdiri atas 10 serikat pekerja dan 111 pekerja. Hal ini karena penilaian konstitusionalitas norma undang-undang secara materil sangat tergantung dari terbukti atau tidaknya permohonan pengujian formil.
Keputusan Mahkamah Konstitusi memang tidak sesuai dengan permohonan awal yang ingin menggabungkan uji formil dan materil. Namun hal itu juga supaya hasil keputusan yang didapat tidak tergesa-gesa, menghindari pengulangan kesalahan yang sama. Hal itu menegaskan integritas MK pada hasil kerjanya. Saat ini masyarakat hanya bisa memantau langkah Mahkamah Konstitusi dalam peninjauan UU Cipta Kerja. Besar kemungkinan masa kegelapan MK sebelumnya tak akan terulang lagi.
Lalu apa yang masyarakat harapkan?
Sesuai permohonan awal, masyarakat ingin ada partisipasi publik dalam penyusunan UU Cipta Kerja. Kembali pada makna mendasar dari demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Para tokoh sosial perlu dilibatkan dalam penyusunan kebijakan yang berdampak paling besar pada mereka.
Pada 20 tahun umur Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, bolehkah masyarakat memohon sekali lagi? Memohon akan jalan keluar dari masalah UU Cipta Kerja yang sudah ada hampir empat tahun. Seperti bagaimana Mahkamah Konstitusi menolong warga selama 20 tahun berkarya, kiranya kali ini hasil yang diberikan juga sesuai dengan harapan publik yang telah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H