Mohon tunggu...
Pablito del Sol
Pablito del Sol Mohon Tunggu... Freelancer - LEVANTATE Y ANDA! Hidup adalah sejarah dalam rangkaian Sabda

Penikmat Sabda dalam linea kata

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Waspada Corona "Beranak Kembar"! Ini yang Perlu Kita Perhatikan

19 April 2020   17:09 Diperbarui: 19 April 2020   17:11 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com

Setelah hampir empat bulan merebaknya pandemi covid 19 di dunia, berbagai pertanyaan terbersit dalam benak kita. Tak terkecuali saya, yang selalu memikirkan banyak hal tentang wabah yang cukup "misterius" ini. 

Misalnya, pada awal kemunculan nama virus corona langsung timbul sejumlah pertanyaan dengan mengaplikasikan metode 5 W+H untuk memahami apa sesungguhnya yang sedang terjadi. 

Namun, sampai sekarang, masih ada banyak pertanyaan yang belum terjawab, bagai misteri yang belum terselami namun terus menggerogoti manusia. Ia bukan hanya menyasar pada level rasional atau afeksi, melainkan sampai menggugat seluruh keberadaan diri kita yakni dengan ancaman kematian.

Perlahan saya mencoba menyimak fenomena dan bagaimana usaha memecahkan kebuntuan yang sedang berlangsung. Rasa saya, usaha pemecahan soal bersama ini juga telah kita lakukan, dengan terlibat aktif dalam berbagai aksi, baik langsung maupun tidak langsung demi menghambat lajunya penyebaran corona.       

Realitas sosial menunjukkan bahwa covid 19 menjadi momok yang akut bahkan sudah sangat menankutkan bagi sebagian kalangan. Dengan berbagai alasan dan faktor, rasa takut dan panik tentu saja dapat terjadi. Misalnya, mereka yang baru tiba dari daerah zona merah, bahkan para perawat pasien corona diasingkan di tempat tinggal mereka. Lebih lagi, jenazah para perawat pasien corona ditolak oleh masyarakat, sebuah peristiwa yang memaksa kita harus mengerutkan dahi dan mengelus dada. Namun, di alam pencarian kita yang paling dasar, kita ingin menemukan apa itu corona dan apa sesungguhnya yang terjadi di baliknya?

Corona = Wabah Berwajah Ganda 

Tinjauan labolatorium dan bioteknologi terhadap corona tidak akan saya masuk, karena saya bukan ahli dalam ranah tersebut. Namun, saya mencoba menelaahnya dari fenomen atau gejala sosial yang sedang terjadi serta hubungannya dengan nama corona. Secara harafiah, kata Corona dapat diterjemahkan dengan mahkota. Nama ini disematkan pada virus 2019 karena bentuknya tampak seperti mahkota.

Lalu, apa hubungannya dengan wajah ganda? Hemat saya, mahkota itu mengandung dan menunjukkan dua unsur yakni makna dan kualitas. Pada satu sisi, mahkota itu dipakai oleh raja atau orang terpandang lainnya. Juga dapat disematkan kepada mereka yang menjadi pemenang sebuah kompetisi. Dengan demikian, mahkota tidak pernah diberikan kepada mereka yang tidak mempunyai kualitas tinggi. 

Pada sisi yang lain, kualitas itu juga ternyata tidak sama. Misalnya mahkota raja akan berbeda kualitas, bentuk, model dan harganya dari mahkota untuk seorang pangeran atau bangsawan lain di bawahnya. Biasanya, mahkota, dengan demikian, terbuat dari emas, perak atau semacamnya yang bernilai tinggi. 

Perbedaan itu menunjukkan identitas sekaligus tingkatan dalam masyarakat. Namun, dapatkah kita membayangkan sebuah mahkota terbuat dari duri? Apakah itu pantas disebut mahkota? Bukankah itu menyiratkan makna lain dari corona untuk dunia kita?

Dalam sejarah, kita sepakat bahwa mahkota (corona) itu terbuat dari emas atau bahan bernilai tinggi lainnya. Namun, jarang bahkan hanya sekali saja (sesuai pengetahuan penulis) bahwa corona itu terbuat dari duri. Itulah corona yang dikenankan kepada Tuhan Yesus setelah ia mendapat vonis hukuman mati oleh Pilatus dan mahkota itulah yang dipakai dalam perjalanan salibNya ke Golgota.

Cukup dengan fakta sejarah ini, saya melihat bahwa Corona itu berwajah ganda, namun terikat dan tak terpisahkan satu sama lain, bagaikan dua sisi pada satu mata uang. Wajah pertama menunjukkan sebuah kemegahan dan di sisi lain menampilkan wajah penderitaan. Inilah alasan mengapa corona disebut wajah ganda.

Anak Kembar Covid 19 

Ketika wajah ganda ini diperhadapakan pada realitas kehidupan kita saat ini sebagai sebuah cermin analisis, wajah ganda corona ternyata mengandung yang kemudian melahirkan anak kembar. Pada aspek kemegahannya, covid 19 mengandung dan melahirkan aspek-aspek positif bagi kehidupan, sementara pada sisi derita (keburukan), covid 19 mengandung dan melahirkan aspek-aspek negatif bagi manusia. Telaah terhadap kedua anak kembar covid 19 merupakan upaya penggalian secara umum dengan kenyataan konkret harian sebagai pisau bedahnya.

@ Aspek positif covid 19

Virus Corona yang sekarang kita hadapai, sebelum ditemukan atau menjangkiti manusia, ia tinggal sebagai sebuah virus netral dengan status "bebas" stigma dan tidak berbahaya. Namun ketika telah menyerang manusia, kita sebagai makhluk rasional kemudian menilainya sebagai lawan yang menyerang dengan predikat wabah.  

Kita kembali menyadari bahwa virus itu sendiri dalam dirinya tidaklah pernah hadir untuk menyerang manusia jikalau manusia mampu memandangnya sebagai bagian dari keseimbangan semesta. Dengan demikian, kehadiran covid 19 patut dinalar alasannya, juga dampak positif yang dikandung di dalamnya. Berikut beberapa contoh yang patut kita perhatikan dari ke-positif-an covid 19 bagi hidup manusia.

Pertama, hadirnya covid 19 membawa sebuah perubahan sosial. Dalam hal ini saya lebih memilihnya sebagai kehadiran yang mentransforasi situasi sosial manusia. Kehadirannya yang transformatif itu dapat kita lihat dari bagaimana kita harus memandang secara baru tatan dan regulasi sosial secara mundial dan lokal pada semua sektor kehidupan. 

Ada tuntutan perubahan yang dibawa serta oleh covid 19. Misalnya proses kegiatan belajar mengajar, relasi interpersonal dalam keluarga, dan yang juga tampak lebih kentara adalah covid 19 menysusp masuk sampai ke dalam ruang agama. Kita perlu memandang secara baru kaidah, aturan dan cara beragama manusia pada masa pandemi. Mungkin juga akan melahirkan sebuah perubahan perspektif pada bagian tertentu dalam ajaran dan teologi agama setelah pandemi berlangsung. 

Covid 19 telah mendorong adanya perubahan sosial, atau jikalau dilihat dari prosesnya yang amat cepat, kita bisa mengakui bahwa corona telah mampu membuat revolusi besar-besaran pada tatanan kehdupan makhluk bumi ini.

Kedua, covid 19 mendorong kita untuk merenungkan tentang lemahnya teknologi buatan manusia. Dalam perubahan zaman, kita yang selalu mengagungkan kekuatan teknologi, hingga akhirnya mengakui bahwa kita kewalahan berhadapan dengan makhluk yang ukurannya sangat kecil ini.

 Ternyata perjuangan pengembangan teknologi mestinya lebih ditingkatkan, didorong untuk lebih maju dengan lebih bijaksana agar tidak mengorbankan ciptaan lain. Wabah tak kasat mata ini hingga kini menyimpan misteri yang perlu diungkap tuntas oleh manusia. Dorongan ini tentu saja bernilai positif agar kita memandang bahwa kemampuan manusia harus diarahkan kepada kebaikan semua ciptaan.

Ketiga, dengan hadirnya corona, kita diundang untuk lebih bersolider dengan sesama, alam ciptaan, serta berbalik mengandalkan Sang Pencipta. Sikap dan habitus baru ini lahir dalam wujud yang konkret yakni meningkatkan solidaritas antarsesama dalam semua sektor kehidupan.

Keempat, covid 19 menghadirkan kepada kita sejuta peluang dan kemungkinan yang masing-masing di dalamnya mengandung nilai. Mengahadapi situasi pelik, tentu kita dituntut untuk mampu melihat, memilah dan memilih secara tajam nilai mana yang harus kita pegang. 

Covid 19 menuntut kita untuk belajar mencintai "nilai yang utama di atas nilai yang lainnya". Proses membuat keputusan untuk hal ini tentu saja butuh kebijaksanaan yang besar. Ini dapat kita simak baik dalam pergulatan pribadi maupun secara global dalam mengambil keputusan-keputusan politis untuk menanggulangi pandemi. 

Selain beberapa contoh yang diuraikan secara garis besar ini, masih ada banyak contoh lainnya yang perlu kita gali lebih dalam.

@ Aspek negatif covid 19

Setelah kita menyelami aspek positif dari kehadiran covid 19, tentu saja tidak serta merta kita membuat kesimpulan afirmatif bawha corona itu hanya mempunyai aspek positif saja. Ingat kembali bahwa covid 19 itu bagaikan dua sisi mata uang. Karena itu kita perlu menemukan sisi negatifnya agar kita bisa seimbang dalam menilai dan menyikapinya.

Pertama, secara global, pandemi corona melahirkan sebuah situasi dimana manusia harus menjaga jarak dari sesamanya, sampai wabah ini berlalu yang, belum diketahui pasti kapan waktunya. Pilihan untuk menjaga jarak antarsesama ini merupakan keharusan agar virus yang telah menjadi wabah lalu dalam tempo singkat menjadi pandemi ini tidak meluas. 

Keharusan yang dihadirkan olehcovid 19 ini tentu membawa dampak negatif bagi kita yang disebut zoon politicon (makhluk sosial). Identitas sosial kita kini sedang dikurung dalam "penjara kuratif-prefentif" (penjara antisipasi yang menyembuhkan) kita. Kita terpaksa dibatasi dalam aktivitas kita, kebebsan kita seolah-olah dipasung jika kita ingin selamat. 

Singkatnya, covid 19 berusaha melenyapkan (ataukah ingin merubah?) identitas sosial kita serta memenjarakan kebebasan kita untuk "keluar rumah". Kita dipaksa hidup dalam keterkungkungan.

Kedua, covid 19 sedang menghadirkan dan membawa kita kembali  kepada kita sebuah tantanan sosial paling primitif dan alamiah. Tatanan ini tampak dalam gelagat sebagaian manusia yang, oleh berbagai alasan, telah memandang sesamanya sebagai serigala yang menakutkan. Inilah yang lebih kita kenal dengan homo homini lupus, sebagaimana dikatakan oleh Tomas Hobes. 

Namun, jauh sebelum Hobes, adagium ini sudah disebutkan oleh Plautus dengan arti yang sama. Ini tentu sangatlah alamiah dan menjadi bagian yang menyatu dengan kenyataan biologis jauh sebelum masuk dalam kesadaran rasional. 

Covid 19 telah mengubah cara pandang sebagian kita terhadap sesama. Sesama manusia bukan lagi dipandang sebagai sahabat bagi sesamanya, sebagaimana yang digaungkan oleh Seneca, melainkan dipandang sebagai musuh yang menakutkan.

Apa yang perlu kita perhatikan? 

Kenyataan kedua di atas sangat tampak pada situasi kita saat ini. Kita harus menjaga jarak, seolah-olah yang dihadapan kita itu bukanlah manusia yang berakal dan berperasaan. Yang di hadapan kita terpaksa dilihat sebagai "penyebar" covid 19 sehingga perlu mengaja jarak. Hal ini terjadi tidak saja ketika seseorang masih hidup, dimana ia masih berkehendak, melainkan sampai ketika seseorang sudah menjadi "jasad"pun harus dipandang dalam perspektif yang sama. 

Dalam kerangka berpikir dan bertindak demikianlah maka sebagian orang, sebagaimana kita ketahui, berusaha untuk menjaga jarak sampai menolak sesamanya yang terpapar posiif vocid 19. Bahkan sampai menolaknya dari lingkungan tempat tinggalnya. Tidak hanya itu saja. Para korban covid 19 yang meninggal dunia, jenazhnya ditolak oleh sesamanya. Betapa menyedihkan, bukan?

Terlepas dari alasan dan faktor yang membuat orang jatuh dalam perspektif homo homini lupus dalam masa pandemi ini, pertanyaan fundamental yang harus segera kita jawab adalah: apa yang perlu kita perhatikan selama menghadapi pandemi ini?

Secara singkat, penawar yang mampu memerangi cara pandang yang berlebihan (boleh juga disebut keliru)  ini adalah dengan menyuntikkan vaksin sikap altruisme dalam kebersamaan di tengah pandemi. Altruisme di sini maksudnya adalah kita memperhatikan kepentingan dan kesejahteraan orang lain terlebih dahulu daripada kepentingan pribadi. 

Tentu ini sangat sulit, namun kita boleh berkaca untuk itu kepada para medis, relawan dan semua pejuang kemanusiaan yang rela membantu para korban covid 19 melampaui ketakutan akan terpapar wabah yang sama. Altruisme, hemat saya, mampu menembus dan melampaui keegoisan. Altruisme sesungguhnya telah menjadi kebajikan dalam setiap agama. 

Vaksin altruisme ini hendaknya lebih dahulu disuntukkan kepada kita daripada vaksin covid 19 itu sendiri. Karena covid 19 sesungguhnya hanya melahirkan sebuah situasi "kemungkinan" timbulnya sikap egois, namun kita sendirilah yang harus mampu memilih dengan bijaksana apa yang harus kita lakukan kepada sesama dalam masa pandemi ini.

Pada akhirnya, covid 19 tidak mendoktrinkan atau memaksa secara kejam agar kita meninggalkan kebajikan kita, melainkan hanya melahirkan kemungkinan yang tidak serta merta juga kita harus pilioh untuk menjadi homo homini lupus est. Sebaliknya, covid 19 sedang menguji seberapa jauh kita mampu berkorban bagi sesama dan memandang sesama sebagai sahabat.  

Salam hangat dalam solidaritas altruistik untuk sahabat semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun