Yuk, Nikah!
Oleh : Rahmayunawati
Mencintaimu seperti menggenggam bara dan aku masih tetap mengenggam bara itu, aku menanggalkan semua keangkuhanku untuk tetap mempertahankanmu, melempar jauh-jauh keegoisanku untuk bisa memenuhi semua inginmu, sekarang aku tahu kau mencintaiku dengan caramu namun buatku itu hanya sebatas pembuktian untuk tetap pertahankanku hingga niatmu menikah hadir.
“Kita bertemu dengan keluarga besarku, mereka ingin menemuimu.”
“Lalu?”
“Keluargaku bertemu dengan keluargamu dan mengetahui silsilah keluargamu setelah itu barulah kita memikirkan untuk sebuah pernikahan”
“Ribet…”
“Begitulah keluargaku…”
“Tidak bisakah kita langsung menikah seperti yang lain, saling mencintai kemudian meminta restu orang tua dan akhirnya menjalani bahtera rumah tangga.”
“Tidak bisa…”
“Seperti dikerajaan saja.”
“Aku mungkin perempuan angkuh dan aku tidak akan pernah mau melakukan itu semua.”
“Ikutilah permintaan keluargaku tapi jika tidak maka setelah ini aku tidak akan pernah membicarakan masalah hubungan ini pada mereka. “ Ujar Bara kemudian melangkah meninggalkanku di teras rumahku.
Buatku harga diri adalah segalanya, kenapa wanita lain tidak harus melakukan ritual ini lalu bisa menikah?, wanita lain hanya saling mencintai kemudian meminta restu lalu menikah sedangkan aku, memulainya saja sudah susah, padahal keluargaku menerima Bara apa adanya, tanpa menuntut apa-apa pada Bara dan mencari tahu siapa Bara sebenarnya, buat keluargaku ketika aku telah memilih Bara maka itulah kehidupanku karena pernikahan ini akulah yang menjalaninya, bukan keluargaku.
“Coba sajalah…” Kak Indri menasehatiku.
“Aku takut mengecewakan mama yang telah menyimpan harapan pada Bara, jika aku telah melangkah jauh dan keluarga kita saling mengenal kemudian ternyata menurut silsilah keluarga aku tidak pantas untuk Bara maka pernikahan ini akan gagal. Dan artinya aku tanamkan kekecewaan pada keluarga kita.”
“Apa salahnya mencoba, setidaknya inilah perjuangan untuk cinta iseng yang ingin kau seriusi.”
“Kenapa tidak langsung menikah saja? Jika awalnya saja susah bagaimana nantinya?”
“Jalani saja dulu…”
“Meskipun rencana pernikahannya tahun depan?”
“Emang kau ingin menikah secepatnya?”
“Aku ingin fokus tanpa pacaran, menjalani rumah tangga seperti yang lainnya, beerbakti pada suami dan fokus beribadah, tinggal memikirkan untuk akhirat sajalah, toh imanku sudah sempurna setelah pernikahan.”
“Maka cobalah dulu, apa salahnya.”
Untuk orang-orang yang mencintai hubunganku dengan Bara, untuk cinta pada Bara dan semua hal yangmenjadi alasan mengapa kami bertahan dengan hubungan yang amburadul dan penuh dengan pertikaian ini maka aku memutuskan untuk mengikuti ritual keluarga Bara.
***Rahmayunawati***
“Kau orang pertama yang aku bawa ke rumahku…”
“Iya.. aku tahu.”
“Buatku pernikahan sangat sakral dan kau pahamkan mengapa selama ini aku mengatakan tidak untuk segera menikah, ritual sebelum pernikahan yang aku takutkan.”
“Iya.. aku juga takut, kita pacaran saja seumur hidup.”
“Bukankah kau yang ingin menikah cepat…”
“Dan tahun depan itu cepat?”
“Kita laksanakan mulai sekarang ritualnya.”
“Ribet…”
“Perempuan yang aku bawa ke rumah adalah perempuan yang akan aku nikahi.”
“Bagaimana jika menurut silsilah keluargaku, aku tidak pantas untukmu?”
“Makanya jalani dulu biar kita tahu hasilnya.”
Aku menatap dengan padangan terpana, masih adakah di Makassar yang tetap pertahankan semuanya? Rumah adat, adat istiadat dan pergaulan sesama keluarga, cara makan dan bagaimana memasak, buatku itu sangat udik tapi inilah keluarganya yang tetap pertahankan itu semua.
“Bantu Kak Airin memasak di dapur Yun…”
“Aku?”
“Iya… istriku harus bisa memasak…”
“Persoalan memasak memang aku harus bisa namun pertama kali datang ke rumahmu kemudian memasak dan bergabung dengan keluargamu apa itu tidak mendadak dan sepertinya mau menanamkan nama baik agar bisa dilamar.”
“Emang iya…”
“Aku harus serendah itu?”
“Iya…”
“Astagfirullah…” sekarang untuk alasan apalagi aku bertahan dan melaksanakan ritual ini jika nuraniku melawan? Jika jiwa pemberontakku sedang diuji, jika jiwa idealismeku sedang ditantang, ini tidak benar bukan mau berkoar-koar bahwa emansipasi wanita sudah ada namun, haruskah aku menanggalkan semuanya dan datang tidak sebagai tamu namun calon istri yang pantas untuk Bara, entahlah namun sudah terlanjur basah maka aku harus tetap menjalani ritual ini meskipun dengan hati menjerit.
***Rahmayunawati***
“Lagi sibuk?” aku menelfon Bara malamnya, aku ingin mengetahui hasil kerja kerasku seharian di rumahnya.
“Iya.. nanti baru menelfon…” pertanda buruk ini, selama ini Bara tidak pernah lebih mementingkan hal yang lain selain aku tapi sekarang dia sibuk untuk urusan yang aku sendiri tidak tahu.
“Iya…” aku mematikan telfonku, bukankah aku sudah berjuang untuk cinta ini? Tidak akanada penyesalan, aku merendahkan harkatku sebagai perempuan dan menuruti semua ritual dalam keluarganya dan jika sekarang aku memilih untuk mundur sebelum memang aku yang terlempar jauh maka itu bukanlah salahku. Bara yang berubah setelah ritual ini dan mungkin saja hasilnya tidak memuaskan keluarganya, aku bukan perempuan udik seperti yang mereka inginkan aku hanya seorang wanita dengan sebuah cinta yang tengah aku perjuangkan.
***Rahmayunawati***
Seminggu sudah aku menghilang dari kehidupan Bara, tanpa tahu apa yang terjadi pada Bara dan bagaimana hasilnya, buatku jika memang Bara mencintaiku maka seburuk apapun hasilnya dia akan tetap perjuangkanku untuk bisa menikah denganku. Tapi jika dia mengalah dengan keadaan maka aku harus ikhlaskan dia dengan yang lain. Akan ada seseorang yang mencintaiku apa adanya dan memperjuangkan cinta itu, jika saat ini Bara tidak mampu untuk melakukan itu, itu berarti bahwa ada yang jau lebih baik darinya, aku tidak memintanya melawan adat dan keluaraganya, tidak pula memintanya untuk menjadi pemberontak namun aku ingin Bara berjuang untuk cinta yang tengah aku perjuangkan pula, dia keras dan cukup didengar oleh orang tuanya, bukanhal mustahil semuanya terjadi jika dia berjuang untukku tapi bukan Bara namanya jika dia tidak pertimbangkan semuanya matang-matang dan mungkin melepaskanku adalah keputusan terbaik yang pernah dia ambil.
Sekarang biarlah takdir yang berbicara, aku harus tetap tegar, aku harus tampak baik-baik saja di depan semua orang meski sebenarnya aku telah berdarah-darah, aku telah menanggalkan semua hargadiriku dan pergi dari hidup Bara adalah pertahanan atas sisa harga diriku yang tertinggal karena cinta yang tidak mampu aku raih.
Allah tidak akan mungkin memberikan hambanya ujian diluar batas kemampuannya dan aku harus hadapi semuanya karena aku yakin aku mampu tanpanya, bukankah belum dikatakan beriman seseorang jika belum diuji? Sekaranglah saatnya aku membuktikan pada dunia bahwa Bara bukanlah segalanya, bahwa aku masih bisa hidup dan terus melangkah meski tanpa Bara.
Bara dan keluarganya akan menertawakanku jika aku terus terpuruk, maka lukaku akan semakin perih jika itu terjadi, aku harus menjadi lebih baik dari saat ini agar ketika Bara dan keluarganya melihatku maka mereka menyesal memperlakukanku seperti itu, sangat perih dan aku harus memapu berdiri tegar diatas perih yang tengah aku rasakan, waktu tidak berhenti disini, masih panjang perjalananku, kegagalan ini harus menjadi cambuk bagi diriku untuk sukses, semakin aku terjatuh maka semaki kebal aku dengan permasalahan, dia hanya hadir sesaat dalam hidupku, dia pernah tidak ada sebelumnya dalam hidupku dan aku mampu lalui semuanya jadi jika saat ini dia tidak ada dalam hidupku bukankah aku tinggal pahami bagaimana aku menjalani kehidupan dulu tanpanya dan aku hidup hingga saat ini.
Cinta Bara bukanlah segalanya, jika dia adalah pemuda yang tercatat untukku dilaufudz mahfudz maka aku yakin bagaimanapun caranya dia akan kembali dan menikah denganku, tinggal serahkan semuanya pada Allah, pada Takdir yang tercatat untukku, jika dia hanya selingan dalam kehidupanku yang harus menanamkan arti kehidupan agar aku bisa lebih memaknai kehidupan maka aku harus ikhlas untuk menerima semuanya. Dan aku yakin Insya Allah aku bisa jalani semuanya dan tanpa Bara.
“Bara mencarimu…” Ujar Raangga yang duduk disampingku.
“Trus…”
“Dia merindukanmu…”
“Lalu…”
“Pulang dan bertemu keluarganya…”
“Untuk apa?”
“Membicarakan pernikahan kalian.”
“Kenapa begitu?”
“Entahlah…”
Haruskah aku kembali mengalah dan membuang jauh-jauh harga diriku dengan bertemu keluarganya kembali?. Aku lelah jadi boneka Bara, seperti aku tidak bisa menemukan laki-laki lain yang layak untuk menikah denganku, selalu aku yang harus mengalah, selalu aku yang harus menuruti semua inginnnya. Ini bukan egois, aku menganggap bahwa inilah terakhir kali aku pertahankan harga diriku. Bukan aku tidak mencintainya namun dia yang selalu mengatasnamakan adat dan lupa akan cinta. Jika besok kami bersama itu karena takdir yang menilih kami bersama karena tidak adalagi perjuangan dariku dan darinya.
Entahlah mungkin memang Bara belum berniat untuk menikah atau mungkin belum yakin denganku, apapun itu namun buatku pernikahanlah pembuktian cinta dan jika dia tidak melakukannya itu artinya memang tidak ada cinta di hati Bara untukku, jika bertemu keluarganya dan ikut dengan ritual keluarganya adalah pembuktian cinta buatku itu hanya untuk pertahankan aku hingga niatnya untuk menikah denganku hadir. Jika dia benar-benar sayang padaku, tanpa bersamaku sekalipun pasti dia datang melamar, bukankah aku sudah berjuang untuk cintanya yang kemudian dia mencampakkanku tanpa alasan yang jelas? Tanpa kabar akan perjuanganku, mungkin memang kami tidak harus bersama, kami sama-sama egois dan keras, mungkin Allah tidak ingin kami hanya merusak makna pernikahan, mungkin dengan menikah dengan Bara aku hanya akan menambah dosa atau tidak mampu untuk berbakti, tapi apapun yang terjadi aku yakin itu yang terbaik, pasti terbaik untukku, bisa saja apa yang aku cintai itu buruk untukku dan apa yang aku benci itu baik untukku, Allah maha tahu dan aku tidak tahu apa-apa, maka sekeras apapun kami berjuang jika bukan jodoh kami tidak akan pernah bersama dan aku lupa akan hal itu, aku memang hanya bisa menyalahkan Bara, menyalahkan adat dan juga menyalahkan keadaan tanpa mau tahu bahwa ada dibalik ini semua, Allah sudah mengaturnya dan kita cukup melangkah dengan baik pada arus kehidupan.
***Rahmayunawati***
Seperti inilah mungkin cinta, selalu melawan logika, bukankah aku sudah memutuskan untuk tidak mau tahu dengan Bara? Tapi sekarang, aku meminta izin di kantorku hanya untuk pulang kampong dan menjenguk Bara di rumah sakit. Dimana logikanya? Bukankah aku sudah memudarkan cinta itu? Ach.. aku mencoba lari dari kenyataan dan mencari alasan pembenaran untuk tindakanku.
“Kenapa menghilang?” Bara mengenggam jemariku dan meneteskan air mata, sedalam inikah rasa cinta Bara untukku? Benarkah pemuda Playboy ini menangis tulus untuk cintaku? Entahlah hingga nanti dia menjadi suamiku barulah aku yakin bahwa dia benar-benar mencintaiku.
“Karena aku tidak ingin tersiksa, aku hanya ingin kehalalan tidak lebih.”
“Ayu…”
“Cinta bukan pacaran ,usia kita sudah pantas untuk menikah, jika kau tidak ingin menikah maka tidak ada cinta.”
“Aku mau menikah kok Ayu…”
“Kapan? Tahun depan?”
“Iya…”
“Tahun depan kau akan punya banyak alasan untuk membatalkannya.”
“Tidak…”
“Bukannya sok suci, namun buatku selama itu hanya akan mengundang fitnah, mungkin sekaranglah saatnya aku membersihkan diri, buatku pernikahan adalah ibadah dan aku tidak ingin mengotorinya dengan pacaran, biarlah yang lalu itu jadi masa lalu dan sekarang aku berusaha untuk memperbaiki diri, belum tentu tahun depan aku masih hidup dan ibadahku tidak fokus jika harus menjalani pacaran, biarkan semua Allah yang mengaturnya dan aku ikut dengan takdir Allah dengan ikhlas...”
“Akupun begitu....”
“Aku tahu bagaimana keluargamu Bara, mereka memang mengjunjung tinggi adat, semua harus sesuai dengan adat namun mereka demokratis, mereka malah memintamu untuk menikah cepat denganku, mereka ingin melihatmu berumahtangga seperti yang lain namun kau sendiri yang tidak mau, sekarang kau menyalahkanku mengapa menghilang?.”
“Ayun…”
“Entah alasan apalagi.”
“Aku tidak mau kau menderita…”
“Alasan apalagi itu?”
“Aku mau setelah menikah..”
“Kau sudah punya segalanya? Aku tidak pernah menuntut uangmu. Sudahlah Bara jangan menyalahkanku, lupakan aku dan jangan sakiti karena aku lagi.”
“Ayun…”
“Lepaskan aku dan aku akan memulai hidup dengan pemuda yang bisa terima aku apa adanya, tidak menuntut macam-macam dan tidak membuat target untuk sebuah pernikahan, bukankah hal yang baik perlu untuk disegerakan?”
“Ayun...”
“Ini jalan yang Bara pilih dan aku hanya ikut dengan jalan itu.”
“Berikan waktu...”
“Sampai kapan? Sampai waktu yang tidak terbataskan?.”
***Rahmayunawati***
Saat ini entah alasan apa aku menerima lamaran Bara, keluarga atau cinta yang tersisa dan aku juga tidak tahu apa alasan Bara pada keluarganya, menanggalkan adat istiadat kemudian melamarku yang menurut silsilah tidak pantas untuknya. Namun yang pastinya bahwa cinta yang sebenarnya adalah cinta yang dibangun dalam kehalalan dan aku mencoba untuk membangunnya saat ini, saat lafads akad nikah dari seorang Bara terdengar merdu di telinga semua orang.
