Dira menggigit bibir, menahan gelombang emosi yang hampir meledak. “Kenapa semuanya harus begini, Dam? Kenapa orang-orang yang kita cintai selalu menyimpan sisi gelap yang nggak pernah kita tahu?”
Adam menoleh, menatap mata Dira dengan penuh empati. “Karena manusia nggak pernah sempurna, Dir. Bahkan orang yang paling kita kagumi pun bisa membuat kesalahan. Tapi itu bukan berarti kita harus kehilangan rasa sayang kita pada mereka.”
Dira meremas surat itu erat-erat. Kepalanya dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana, Dam. Semua ini terlalu rumit.”
Adam tersenyum tipis. “Mulailah dengan bertanya pada ibumu. Setidaknya, dengar dulu kisah dari sisi dia. Setelah itu, kamu akan tahu langkah apa yang harus diambil.”
Dira menghela napas berat, tapi dalam hati ia tahu Adam benar. Ia harus menghadapi ibunya, menghadapi kebenaran, meskipun kebenaran itu bisa saja menghancurkan semua kenangan indah tentang ayahnya.
Malam mulai turun perlahan, membawa hawa dingin yang menusuk kulit. Dira berdiri, meraih tangannya ke arah Adam. “Terima kasih, Dam. Kamu benar. Aku akan bicara dengan ibu.”
Adam menyambut tangannya, lalu berdiri. “Aku selalu di sini, kalau kamu butuh.”
Dira mengangguk dan memeluk sahabatnya erat. Ombak masih menghantam karang dengan bising, seolah ikut berbicara dalam kekacauan pikiran Dira. Namun kali ini, ia merasa sedikit lebih kuat untuk menghadapi badai yang lebih besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H