Bismillahirrahmanirrahiim
Selaku umat Islam yang besar di Indonesia, menghabiskan masa kanak kanak bergaul dengan teman-teman etnis Tionghoa dan menjadi minoritas, lalu masuk pesantren selama enam tahun bergaul di komunitas muslim yang cenderung homogen, adalah kesempatan yang saya rasakan manfaatnya saat ini. Terinspirasi dari banyaknya tulisan yang beredar di media-media online dan diskusi-diskusi offline, terutama catatan Melanie Tedja soal “Kalau pendukung Jokowi mau jujur”, saya mencoba berbagi keresahan yang mudah-mudahan menjadi manfaat bagi diri dan sesama umat beragama dan warga negara.
Sejujurnya, saya pun takut membawa terminologi-terminologi agama dalam menuliskan ini, dikarenakan kesadaran akan terbatasnya referensi pengetahuan agama saya. Demikianpun, saya coba berbagi apa yang saya rasakan manfaatnya sebagai pemeluk agama dan hidup berdampingan dengan banyaknya faham yang berkembang di zaman serba terkoneksi ini.
Sejarah pendirian negara ini tidak terlepas dari tokoh tokoh lintas agama dan lintas golongan. Waktu itu, semangat kebangsaan mengalahkan sentimen politik demi kepentingan masing-masing kelompok. Ketika itu, Islam pun sudah mayoritas, terutama sejak berdirinya kerajaan-kerajaan di bawah naungan Mataram, Banten, Iskandar Muda, kesultanan Ternate dan Tidore, dan seterusnya. Sama seperti berdirinya negara Madinah, Rasulullah Muhammad SAW pun di dua tahun pertama tidak mendirikan negara Islam lalu kemudian menyerahkan penanganan hukum di tangan masing-masing kepala kabilah. Piagam Madinah yang berisi 57 pasal menceritakan secara detail keuniversalan nilai-nilai ajaran Islam sehingga Islam tidak dianggap sebagai penguasa yang lalim, tapi pemerintah yang merangkul dan menyeru kepada kebajikan. Memang sejarah juga mencatat dua tahun paska diberlakukannya piagam madinah terjadi pengkhianatan akan kepatuhan terhadap piagam tersebut untuk kemudian digantikan dengan wahyu Allah yang diturunkan mengikuti konteks sosial yang berlaku (asbabun nuzul/asbabul wurud). Demikian pun, tentu saja kita tidak bisa menggenarilisir bahwa sejarah pengkhianatan akan pemerintahan madinah yang demokratis pada waktu itu akan senantiasa terulang untuk kemudian digantikan dengan Alquran dan Hadist, atau sebaliknya Alquran dan Hadist akan dilarang dijadikan rujukan hukum bagi pemeluk Islam. Bahwa saya menemukan banyak kebaikan-kebaikan yang meneguhkan keyakinan saya pada agama yang saya anut, tidak menjadi motif saya untuk menghabisi lawan-lawan yang saya anggap tidak sesuai dengan ajaran agama saya. Sejatinya, sejarah perang Islam pun atas dasar defensive, bukan offensive. Ketika platform bertata laku sosial menurut hukum syariah dilarang, maka ummat Islam memang harus bersatu untuk menyerukan perlawanan. Tapi perlawanan tersebut tidak identik dengan angkat senjata, tapi perlawanan ide dan dialog kerukunan yang menjelaskan implikasi hukum dari pemberlakuan hukum syariah, misalnya.
Di momentum pilpres ini, kabar mengenai pengkebirian nilai-nilai Islami lewat partai pendukung Jokowi dihembuskan sebagai komoditas politik. Munculnya poster “gallery of rouges”nya Wilmar Witoelar atau isu pencabutan identitas agama di KTP oleh Musdah, daftar perda syariah yang ditolak oleh PDIP atau berita koran online tentang larangan takbir keliling oleh Jokowi yang disandingkan dengan alokasi dana besar besaran di tahun baru oleh pemda DKI, seakan menjadi justifikasi sosial untuk menghidupkan perjuangan meneguhkan nilai-nilai Islam. Beredar pesan-pesan singkat di kalangan masyarakat kecil yang menyamakan Prabowo sebagai panglima perangnya umat Islam melawan kebathilan. Jujur saja, saya sempat termakan oleh isu ini dan berfikir ulang untuk memilih Jokowi dan grup PDIP. Lalu masalah ini saya urai satu persatu;
1.Perjuangan melawan pengkebirian nilai-nilai Islami dan hukum syariah
Setiap kita tentu merasa penting untuk menjaga nilai-nilai identitas kita. Sebagai umat Islam, saya pun selalu berusaha menunjukkan identitas pribadi saya sebagai umat Muhammad yang saya coba teguhkan dalam keseharian dan pemikiran saya. Tidak jarang dalam diskusi-diskusi paper kuliah hal ini saya angkat dengan tidak merendahkan referensi lainnya yang punya dasar pemikiran berbeda dengan saya. Utilitas nilai tersebut ada pada pilihan pribadi, karena sejatinya hak mendapatkan hidayah itu ternyata milik Allah semata. Kisah perjuangan paman nabi Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya tidak memeluk Islam padahal sampai akhir hayatnya dia senantiasa membela dakwah nabi, menjadi ibrah bagi saya untuk menjaga batas mana yang jadi “otoritas” manusia, dan “otoritas” Allah. Di Sydney sini, dan di beberapa negara non muslim yang saya pernah kunjungi, memang keberpihakan negara akan peneguhan nilai beragama mempengaruhi jalannya syiar. Saya kerap rindu dengan kumandang azan yang disiarkan lewat televisi dan radio, atau pengeras suara masjid. Tapi saya tetap bisa merasakan bahwa kebebasan saya mengekspresikan diri sebagai muslim sangat difasilitasi. Di kampus misalnya, kita diberikan fasilitas ruang sholat khusus yang didanai kampus dan atau pihak-pihak donatur, kegiatan keagamaan pun berjalan tanpa halangan apapun. Di channel-channel radio saya masih bisa mendengarkan kumandang azan dan kumandang tilawah Alquran tanpa harus merasa itu sebagai sebuah keniscayaan pengkebirian nilai Islam walaupun negara ini tidak ditopang oleh budaya Islam yang kuat. Artinya peran negara pada ekspresi saya sebagai pemeluk agama berhenti di soal apakah saya dibolehkan atau dilarang untuk mengekspresikan keyakinan saya. Labelisasi halal-haram, pendirian rumah ibadah, penyebaran dakwah beragama, dan yang lebih penting lagi menyampaikan cara pandang saya yang berbeda akan banyak hal dalam tata nilai kehidupan, seperti penguburan mayit, pernikahan, pengurusan hak waris, dll, tidak dihapuskan oleh negara. Skenario terjeleknya, jika ada usaha-usaha penghapusan nilai-nilai dan hukum syar’i tersebut, fakta tata hukum negara yang berlandasakan undang-undang serta persetujuan legislatif tidak harus seperti sepanik yang diberitakan. Masih ada banyak orang Islam yang tersebar di setiap partai yang duduk di DPR/MPR. Ada banyak orang yang punya integritas yang menginginkan nilai-nilai Islam tetap terakomodir, dan bukan eksklusif mereka saja yang ada di partai-partai berbasis Islam. Di tingkat daerah, kepala daerah dan legislasi daerah punya otoritas mengusung perangkat peraturan daerahnya sendiri, selama undang-undang nasional mengakomodirnya. Artinya ada banyak sekali “usaha” yang harus ditempuh guna mengkebiri nilai-nilai Islam lewat tata hukum bernegara. Ditambah lagi, kita harus terus mendorong pembinaan nilai-nilai yang kita anggap baik, dalam hal tulisan ini saya afiliasikan dengan nilai-nilai Islam, lewat keluarga-keluarga kita. Lewat kebiasaan mengajarkan Alquran sejak kecil, kejujuran, patuh pada orang tua, berteman dengan segala kelompok dan golongan tanpa harus terwarnai, dan seterusnya. Sekolah-sekolah keagamaan harus senantiasa diperbolehkan untuk menebar nilai-nilai ajarannya, selama nilai-nilai tersebut TIDAK dipaksakan untuk diadopsi oleh semua orang. Tanggung jawab utama kita sebagai individu, berhenti pada diri sendiri dan keluarga terdekat (Quu Anfusakum wa ahliikum naara). Ini yang kemudian saya sebut sebagai kepanikan sosial. Penghembusan isu pengkebirian nilai-nilai Islami dan penegakan hukum syariah menjadi kehilangan makna dakwah yang sesungguhnya. Lucunya lagi, secara hukum formal Jokowi dan Prabowo adalah sama sama Islam, dan didukung oleh parpol-parpol / kelompok-kelompok Islam.
2.Perjuangan melawan penyebaran ideologi komunisme
Bukan hal yang baru, bahwa marxisme adalah paham ideologi yang digunakan sebagai propraganda politiknya kapitalis. Marxisme yang sejatinya menghadirkan peran negara sebagai katalisator distribusi kekayaan negara di dalam banyak diskursus ilmiah ibarat dipuja dan dibenci. Dipuja oleh yang setuju bahwa negara harus menjembatani peran semua elemen negara (swasta dan pemerintah) dalam pemenuhan layanan publik dan dibenci karena sering dibelokkan sebagai otoritas menguasai pendistribusian kekayaan negara untuk segelintir kelompok politisi. Di Indonesia, marxisme dan komunisme disatukan. Entah sejak kapan, kedua paham ini menjadi simbol atheisme. Seolah-olah paham komunisme, marxisme, leninisme, sosialisme dan lain-lain adalah intinya “anti Tuhan” dan begitu meyakinkan bagi kelompok yang kurang membaca. Isu seperti ini berhasil dihembuskan di era 1965 ketika Soeharto “memimpin” pembunuhan massal atas nama perang melawan “komunisme anti Tuhan”. Kita dibuat bingung dengan slogan-slogan anti asing, namun mengadopsi propaganda Amerika dalam menguasa kapital dunia sebagai strategi kampanye. Seandainya pun usaha peneguhan komunisme yang anti Tuhan itu muncul, sangat sulit sekali membayangkan seorang Jokowi dan kelompok PDIP menjadi sangat superior mengingat perolehan mereka yang hanya 18%, mengalahkan supremasi sipil yang kian bertumbuh. Segitu tidak percayanya kita pada kemampuan berdebat dan berargumen para politisi dan akademisi kita di tata nilai demokrasi, sehingga mengaburkan pemikiran logis bagaimana bisa ideologi komunis anti Tuhan akan bisa dilanggengkan lewat kekuasaan seorang presiden? Di samping itu, lagi-lagi kita mengecilkan peran kita sebagai orang tua, sebagai individu merdeka yang memiliki otoritas sejajar dengan negara. Justru yang kita perlu khawatirkan adalah sosok pemimpin yang menebar terror dan ketakutan dengan jaket-jaket keshalehan. Yang berusaha menanamkan kebencian pada satu pihak atas asumsi. Padahal propaganda politik anti komunisme inilah yang dipakai kaum kapitalisme Amerika guna meruntuhkan Rusia dan secara konspiratif membantu penumpasan PKI di 1965. Kita kehilangan kepercayaan pada undang-undang sistem pendidikan nasional yang sudah mensortir hal-hal apa saja yang boleh berkembang di sekolah-sekolah. Masyarakat ditakut takuti bahwa anak-anak kita nantinya akan tumbuh sebagai insan anti Tuhan, seolah-seolah semua kehidupan bernegara sangat dipengaruhi oleh seorang presiden.
3.Keshalehan sosial dan calon pemimpin yang Islami
Menurut pandangan subjektif saya yang tidak terlalu menyenangi sinetron, tumbuhnya simbol-simbol keshalehan sosial banyak dipengaruhi lewat tayangan-tayangan musiman ini. Seseorang dianggap semata-mata sholeh ketika bacaan Alqurannya baik, menggunakan atribut ke Islaman seperti kopiah dan tasbih, mengutip ayat ayat Alquran sebagai referensi subjektif, padahal kesholehan itu adalah konsep yang abstrak. Sepanjang yang saya tahu, tingkat ketakwaan dan keimanan seseorang tidak bisa diukur dari atribut simbol yang dia pakai semata, namun tercermin dari keseluruhan kepribadiannya dan hanya Allah yang Maha Tahu sesungguhnya nilai ketakwaan manusia tersebut. Waktu saya kanak-kanak, ada seorang imam di kampung saya yang bersuku Jawa, sehingga melafadzkan “Alhamdulillahi robbil ‘alamin” menjadi “Alhamdulillangirobbil ‘Alamin”. Bukan berarti saya benarkan cara membaca tersebut secara makhraj hurufnya, tapi fakta bahwa pak Imam tersebut selalu menjaga ibadahnya tepat waktu, setia mengajarkan anak-anak di surau untuk mengaji dan kemudian meninggal dalam kesederhanaan memberikan bekas yang mendalam pada saya akan arti kesholehan. Seandainya Sunan Kalijaga yang selalu pakai blangkon hidup di zaman sekarang, mungkin dia pun tidak lolos kriteria sholeh secara sosial. Yang lebih menariknya, kita berusaha memaksakan kriteria keshalehan sosial tersebut kepada salah satu capres kita. Seorang capres idaman kita harus fasih membaca Alquran, memiliki ilmu pengetahuan keagamaan yang mendalam, dan seterusnya. Padahal, dalam banyak kasus, pengetahuan agama yang baik dan kepekaan sosial adalah dua hal yang tidak selalu sinergi, merujuk pada banyaknya orang yang kita anggap sholeh berdasarkan kriteria sosial tersebut terjebak di kasus-kasus korupsi yang juga dilakukan oleh orang-orang yang “tidak sholeh”. Saya setuju bahwa media memiliki peran besar soal mendiskreditkan tokoh-tokoh salah satu partai yang cenderung dihuni oleh kelompok Islam. Seolah-olah kalau orang yang tidak sholeh dianggap lebih boleh korupsi dari orang yang sholeh. Ini juga keliru, tapi jangan campur adukkan kebencian kita pada media yang berpihak tersebut pada momentum pemilihan presiden ini yang sejatinya adalah pertarungan gagasan. Gagasan guna memimpin negara yang lebih maju, demokratis, adil dan mengakomodir kehidupan kita semua sebagai warga negara yang sejajar.
Akhirnya saya percaya, bahwa ada batas di mana kita sebagai umat manusia harus terus mempertahankan nilai-nilai yang kita anggap penting lewat keseharian kita dan batas mana Tuhan punya kuasa pada hidup kita, termasuk pada calon presiden mendatang. Presiden yang tunduk pada konstitusi dan supremasi sipil tidak akan mampu memaksakan ideologi dan nilainya dalam kehidupan kita sehari-hari paska pilpres nanti. Tidak usah panik, jangan bantu sebarkan terror. Mari dukung pilpres kita di pertarungan konsep dan ide yang bermartabat, tanpa terror apalagi label-label subjektif beragama.
Wallahua’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H