"Pak, kebilo kami jalan-jalan macam kelas 2 tu Pak?"
"Pak, kapan kami jalan-jalan seperti kelas 2 itu Pak?"
Beberapa hari sebelum Penilaian Akhir Semester (PAT) digelar, saya menggiatkan kegiatan belajar sembari jalan-jalan mengelilingi lingkungan sekolah seraya melihat aktivitas warga.
Sebenarnya materi pelajaran yang diampu pada semester ini sudah habis, hanya perlu sedikit refleksi dan sering-sering apersepsi agar anak-anak tidak melupakan materi yang telah lalu.
Pada awalnya, saya hanya mengajak anak kelas 1 SD dengan jumlah 5 orang untuk berkeliling melihat alam, melihat aktivitas warga, sembari melihat fenomena yang ada di sekitar sekolah.
Kebetulan materi terakhir ialah tentang berbakti kepada orang tua dan guru, jujur, pemaaf, dan rendah hati yang merupakan bagian dari perilaku hubungan antar sesama manusia.
Pada 20 menit terakhir saya coba hadirkan masalah terkait kenapa perilaku rendah hati kepada orang yang lebih tua itu penting, sontak saja siswa kelas 1 bingung. Toh, pemikiran mereka masihlah berada pada tahap operasional konkret, kan? Hahaha
Menurut Piaget, tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun) adalah momen di mana seorang anak rajin berpikir rasional namun masih terbatas pada situasi-situasi nyata.
Atas permasalahan tersebut, di sinilah mulai terbayang fenomena bahwa ruang kelas terlalu sempit bagi siswa. Sempit dalam artian terlalu sedikit pengalaman, terlalu sedikit alternatif pemecahan masalah, dan terlalu sedikit insight.
Problem Solving, Apakah Efektif Bila Hanya Diselesaikan di Kelas?
Fenomena yang  disajikan di atas adalah contoh nyata masalah-masalah yang sering dihadapi oleh guru SD dalam mengajarkan materi.
Bagi saya pribadi, materi-materi berbasis perilaku terpuji seperti toleransi, tenggang rasa, percaya diri, jujur, amanah, hingga berbaik sangka merupakan materi yang membutuhkan banyak alternatif pemecahan masalah, terutama ketika guru menerapkan model pembelajaran berbasis penyelesaian masalah alias problem solving.
Jangankan bicara tentang anak SD, orang dewasa yang sudah paham dengan pengertian "Jujur" dari segi bahasa, istilah, hingga definisi para tokoh saja masih sering berdusta, kan? Ehem.
Maka dari itulah, terkadang model pembelajaran Problem Solving bakal susah mencapai kata "sukses" bila hanya dilakukan di kelas, mengingat insight siswa yang amat bergantung kepada literasi dan pengalaman mereka.
Bila kita merujuk pada penerapan model pembelajaran Problem Solving, maka prosesnya dimulai dari define the problem-brainstrom solutions-pick a solution-implement the solution-review the result.
Namun pada studi kasus yang saya sampaikan di atas, beberapa kali anak SD terganjal di cycle kedua, yaitu brainstrom solutions.
Para siswa jenjang SD dalam kehidupannya punya banyak sekali masalah. Mulai dari pening ketika mengerjakan PR yang sulit, sedang malas piket kelas, hingga minim uang jajan.
Mereka beberapa kali bisa mengatasi masalah mereka sendiri karena kasus tersebut sudah sering dialami. Dengan demikian, ada banyak gagasan, ide, opini, dan teknik jitu untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Tapi bagaimana jika siswa diminta untuk mencarikan solusi terhadap masalah yang dialami oleh siswa lain?
Tentu akan banyak alternatif masalah, namun seringkali alternatif masalah yang siswa hadirkan sama persis dengan buku, tersebab mereka belum mengalaminya sendiri.
Kembali lagi seperti kasus ketika saya menanyakan kepada siswa kelas 1 tentang: kenapa perilaku rendah hati kepada orang yang lebih tua itu penting?
Ketika siswa melihat buku, catatan, atau secari coretan yang ada di papan tulis, maka alternatif jawaban mereka berkisar tentang "karena itulah contoh perilaku hormat kepada orang tua", "karena perilaku rendah hati adalah perilaku terpuji" dan semisalnya.
Secara teori, barangkali jawaban itu cukup. Namun bila kita lirik dari sisi problem solving, maka jawaban tadi belumlah menggambarkan pentingnya perilaku rendah hati, dan kalau kita tanyakan kembali kepada siswa di minggu depan, bisa saja jawabannya menjadi berbeda.
Jadi, bagaimana caranya agar guru bisa mendapatkan jawaban yang mendalam dan siswa pun bisa memaknai jawaban tersebut dengan kesan yang mereka dapatkan?
Cara terbaik bin jitu, salah satunya ialah dengan mengajak siswa "mengalami".
Memasukkan Dunia ke dalam Kelas, atau Keluar Kelas untuk Melihat Dunia
Cobalah kita lihat ruang kelas di sekolah, terutama kelas SD. Sempit. Hanya dua meter persegi per setiap peserta didik menurut standar yang tercantum dalam Permen 24 2007 tentang Standar Sarana Prasarana.
Dengan demikian, lebar ruang kelas minimum hanyalah 5 meter. Sedangkan fenomena di lapangan? Angka-angka tadi malah bisa menjadi lebih sempit karena kondisi kelas yang belum memadai. Belum lagi ditambah dengan suasana bising di kelas sebelah.
Duh, ternyata sungguh banyak sekali masalah dalam proses belajar mengajar, semoga guru-guru di Indonesia tetap kuat dan sabar, ya. Hahaha
Oke; kita lanjut ke bagaimana hasil akhir dari kasus yang saya sajikan di awal tulisan ini. Penasaran kan bagaimana ending-nya? Ehem.
Jadi, setelah kami berkeliling ke belakang kelas, kemudian melewati jalan memutar untuk keluar dari lingkungan sekolah, saya pun meminta siswa secara bergantian untuk menyapa warga yang sedang menjemur pakaian, menjemur dan memetik kopi, hingga warga yang sedang mendirikan tenda untuk hajatan.
Karena siswa di SD kami adalah warga setempat, maka bukanlah hal yang sulit bagi mereka untuk menyapa warga.
Setelah puas jalan-jalan dan kembali tiba ke gang masuk lingkungan sekolah, saya pun bertanya tentang apa yang mereka dapatkan dari percakapan dengan warga.
Dari kelima siswa tersebut, ada yang menjawab bahwa mereka ditanyakan kabarnya apakah sedang sehat-sehat saja, ditanyakan kabar tentang orang tuanya, ada yang disuruh singgah sebentar, dan ada pula yang didoakan agar semakin pintar.
Alhasil, ketika saya tanyakan kembali alasan kenapa perilaku rendah hati kepada orang yang lebih tua itu penting?, beberapa dari mereka menjawab; "Karena kalo berperilaku rendah hati, kito jadi didoakan samo jemo, Pak!". (jemo=orang)
Yeay, saya pun jadi senang karena siswa sudah menyelesaikan permasalahan mereka terkait perilaku rendah hati sekaligus mampu memaknai pengalaman mereka sendiri di lapangan.
Dari secarik kisah ini, agaknya kita bisa menyimpulkan dua gagasan penting supaya pembelajaran di sekolah efektif, bermakna, serta memperluas insight siswa.
Pertama; jika ruang di kelas dirasa sempit untuk siswa mengenal dunia, maka kita perlu memasukkan dunia ke dalam kelas dengan cara menyajikan fenomena-fenomena yang dekat dengan mereka.
Kedua; jika suasana kelas tidak memungkinkan untuk memasukkan dunia, maka sudah saatnya guru mengajak siswa keluar kelas untuk melihat dunia dan seperangkat fenomenanya.
Jika salah satu dari kedua gagasan di atas tidak dicoba, maka seringkali kita para guru bakal menjumpai pembelajaran yang berbasis problem namun minim solving.
Oke deh, itu saja secarik kisah seru yang bisa saya sajikan pada tulisan ini. Mungkin teman-teman Kompasianer punya cerita serupa yang juga berkesan?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H