Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengajar dan Mengeluh, Dua Pekerjaan yang Sama-sama Menghabiskan Tenaga

28 September 2021   17:18 Diperbarui: 30 September 2021   04:30 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengajar itu Melelahkan. Image by mohamed Hassan from Pixabay 

Mengajar itu melelahkan, tidak selamanya menyenangkan. Ada-ada saja segenap situasi di mana seorang guru benar-benar merasa lelah. Lelah dengan keadaan, lelah dengan aturan, hingga lelah dengan masa penantian menunggu turunnya gaji.

Adalah kewajaran bila kemudian hadir beruntai-untai keluh. Seperti halnya saat ini, saat di mana kita mengajar di tengah corona.

Meskipun Presiden Jokowi mengatakan bahkan mengajak untuk menjadikan pandemi sebagai endemi, bukan berarti suasana belajar di kelas bisa berubah sedemikian rupa.

Tantangan seorang guru selalu ada, baik yang datangnya dari siswa, dari orang tua, dari aturan sekolah, hingga dari pemerintah.

Mengajar adalah Pekerjaan yang Menghabiskan Tenaga

Mengajar itu Melelahkan. Image by mohamed Hassan from Pixabay 
Mengajar itu Melelahkan. Image by mohamed Hassan from Pixabay 

Sadar atau tidak, beda tingkatan dan jenjang kelas, beda pula konsumsi tenaga yang dihabiskan oleh seorang guru.

Secara pribadi, aku beranggapan bahwa mengajar di SMP relatif lebih ringan tenaganya daripada mengajar SD, dan mengajar di SD favorit lebih ringan tenaganya daripada mengajar di SD pelosok.

Mengapa begitu? Tunggu, ya, itu hanya persepsiku semata. Tentu saja subjektif, karena keadaan, perasaan, dan pengalaman kita berbeda-beda. Biarpun berbeda, mungkin semua guru di negeri ini sepakat bahwa kegiatan mengajar itu benar-benar menghabiskan tenaga.

Tambah lagi jikalau seorang guru tidak memiliki varian pendekatan, strategi, hingga metode yang banyak, maka itu sungguh lebih susah dan melelahkan.

Alasannya sungguh sederhana. Lima metode ajar yang kita terapkan di kelas 5 SD misalnya; belum tentu akan berhasil bila kita terapkan di kelas 6 SD, atau di kelas 5 dengan rombel yang berbeda sekali pun.

Banyak faktor yang mampu menurunkan derajat efektivitas metode ajar seperti karakteristik siswa yang unik, keadaan kelas, jumlah siswa, faktor kesehatan, hingga waktu mengajar.

Semisal anak-anak kita pada jam pertama-keempat mengikuti pelajaran Penjasorkes, sedangkan jam kelima-keenam kembali masuk kelas untuk belajar Tematik. Hehe, pasti sudah terbayang kan bagaimana raut wajah siswa di kelas pada jam-jam akhir pelajaran?

Siswa saja tampak lelah, apalagi gurunya! Eh, tapi seorang guru harus tetap ceria, semangat, dan tulus mengajar, ya. Karena guru itu spesial, guru itu orang-orang pilihan, dan tidak semua orang bisa jadi guru.

Makanya terkadang aku cukup jengkel dengan pernyataan para pengamat pendidikan yang seakan-akan memojokkan guru gara-gara skor PISA yang menurun, atau gara-gara mutu/kualitas pendidikan yang terus surut.

Mereka terkadang hanya berdalil dari teori, dari hasil studi negara luar. Padahal keadaan pendidikan negeri ini di lapangan tidaklah sebercanda dan sesederhana itu.

Ada begitu banyak komponen pendidikan yang solusinya tidak akan selesai jika hanya dibahas di meja rapat dalam beberapa jam. Tapi, setidaknya para pemangku kebijakan harus tahu terlebih dahulu bahwa kegiatan mengajar itu menghabiskan banyak tenaga.

Mengeluh Itu Melelahkan, Jadi Jangan Dipadukan dengan Mengajar

Image by Brigitte makes custom works from your photos, thanks a lot from Pixabay 
Image by Brigitte makes custom works from your photos, thanks a lot from Pixabay 

Salah satu pekerjaan lain yang cukup menghabiskan tenaga adalah mengeluh. Yup. Kita mengeluh karena susah, pedih, sedangkan arti keluh itu sendiri adalah ungkapan terkait kesusahan.

Alhasil, coba kita pahami lebih dalam kalimat tersebut. Sudah susah, syahdan mengeluh pula. Sama saja dengan "Sudah susah, malah semakin susah". Dobel capeknya. Terkadang, adalah wajar bila kemudian seseorang itu mengeluh. Soalnya dia sudah lelah. Ehem

Jika kita pikir-pikir lagi, perilaku mengeluh rasanya akan membuat sebuah pekerjaan yang tadinya lelah menjadi semakin melelahkan. Soalnya, keluhan pertama biasanya akan menimbulkan keluhan kedua, ketiga, dan seterusnya.

Praktiknya?

Semisal; ada guru yang mengeluhkan gajinya yang kecil. Adapun bahan-bahan yang biasanya menjadi objek pembicaraan keluh meliputi membandingkan gaji di sekolah negeri dan swasta, membandingkan gaji oleh kepsek baru versus kepsek lama, dan seterusnya.

Padahal, menjadi guru itu adalah pilihan dan dengan gaji yang "segitu" itu sudah menjadi risiko.

Seorang guru honorer misalnya; sebelum memilih untuk melamar pekerjaan di sekolah, pasti dia akan melakukan riset kecil terkait gaji. Jadi, andai saja semuanya dijalani dengan sabar dan syukur, kegiatan mengajar tidaklah menjadi selelah itu.

Dalam sebuah studi Stanford dikatakan bahwa mengeluh selama lebih dari 30 menit secara fisik dapat merusak neuron di hippocampus. Ini adalah bagian dari otak yang bertanggung jawab untuk pemecahan masalah dan fungsi kognitif.

Secara sederhana, mengeluh tidak hanya menghambat fungsi mental yang teratur; melainkan malah menimbulkan keluhan-keluhan yang lainnya. Begitu diri ini mulai mengeluh, bisa jadi tidak bisa berhenti. Akhirnya, ini menjadi kebiasaan.

Hal tersebut berlaku pula dengan berbagai situasi, keadaan, dan kondisi pengajaran lainnya. Kegiatan mengajar sungguh tidak bisa dicampur dengan keluh, karena kolaborasi keduanya hanya akan membuat hidup seorang guru tidak nyaman.

Cara terbaik untuk mengusir keluh saat mengajar ialah dengan bersyukur. Soalnya bersyukur adalah emosi yang paling sehat.

Nyatanya keadaan di kelas offline maupun online memang rumit dan pelan-pelan membuka lumbung keluh. Wajar, itu sungguh wajar. Walau begitu, carilah objek/pandangan/gagasan lain yang positif untuk dijadikan sebagai "angin" pengusir keluh.

Misalnya; jika seorang guru mulai mengeluh gara-gara hasil penilaian tugas yang rendah alias tidak sesuai harapan, janganlah memperpanjang keluh tersebut dengan omelan panjang hingga mampu menghabiskan dua jam pelajaran.

Bersyukurlah karena siswa tadi mau mengerjakan tugas. Minimal mereka sudah mengerjakan berdasarkan kemampuan sendiri, tanpa menyontek, bahkan tanpa meminta bantuan orang tua alias mandiri.

Lebih daripada itu, seorang guru perlu berkali-kali menyadari bahwa anak yang datang ke sekolah belum tentu niatnya untuk belajar. Maka dari itu, sebaiknya yang kita bawa ke kelas adalah ilmu, pengetahuan, dan pengalaman, bukan keluh.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun