Sejak awal September 2021, kulihat jalanan sudah mulai ramai dengan aktivitas sekolah. Terutama di sepanjang jalan menuju lokasi tempat aku mengajar.
Di tepi jalan ada anak-anak SD yang diantar oleh orang tuanya, ada anak SMP yang mulai memasuki pintu gerbang, hingga ada pula tukang ojek yang baru saja berhenti menurunkan penumpang siswa SMA.
Berbagai situasi tersebut sudah cukup lama tidak kulihat sepanjang aku berangkat dan pulang mengajar. Tapi semenjak adanya arahan dari Mendikbudristek Nadiem Makarim, satu demi satu satuan pendidikan di wilayah PPKM 1-3 mulai menggelar Pembelajaran Tatap Muka (PTM) terbatas.
Kita sama-sama menyadari akan pentingnya pendidikan sebagai aset alias investasi masa depan. Walaupun situasinya masih pandemi, bukan berarti kegiatan pembelajaran bisa berhenti. Sesekali kita mungkin boleh saja mengalah dengan keadaan, tapi tidak untuk merasa kalah.
Maka dari itulah pembelajaran mesti terus berjalan walau dihadirkan dengan berbagai bentuk, sistem, dan rupa.
Pandemi dan Masa Depan Kelas
Apakah semenjak hadirnya pandemi di Bumi Pertiwi masa depan kelas mulai tampak suram? Agaknya suara-suara sumbang semacam itu masih terus berdatangan.
Dulu di awal tahun 2021, Mendikbud era 2009-2014 Mohammad Nuh pernah menyuarakan kekhawatirannya terkait ancaman learning loss kepada Mas Nadiem seiring dengan kian merebaknya pandemi.
Kehilangan kesempatan belajar memang benar-benar menjadi ancaman yang nyata terutama bagi para generasi penerus bangsa yang masih minim akses dan pelayanan pembelajaran.
Di masa pandemi corona, anak-anak kita yang tinggal di daerah 3T barangkali belum pernah merasakan bagaimana kesenangan, kesusahan, hingga keseruan belajar daring.
Pun demikian dengan sebagian anak-anak bangsa yang tinggal di kota, namun berada di daerah yang "kurang bersahabat untuk belajar secara online.
Maka darinya, kita tak heran bila menemukan pemberitaan di berbagai media tentang adanya siswa yang memanjat pohon demi bisa mencari sinyal internet, mendaki bukit, menumpang di warung kopi, hingga mencari pinjaman gadget.
Apakah seperti itu masa depan pendidikan yang kita harapkan?
Ketika harapan digitalisasi pendidikan dibenturkan dengan kenyataan, rasanya di saat ini pula kita semakin mengerti tentang betapa senjangnya kualitas pendidikan.
Selama mengajar di era pandemi selama hampir dua tahun ini, aku merasa para pelaku dan pegiat pendidikan hari ini berjalan dua arah.
Mereka yang didukung dengan TIK yang memadai berkumpulnya bersama orang-orang yang fokus menyuarakan IT pendidikan serta terus melakukan inovasi agar pembelajaran berbasis teknologi bisa terus digaungkan.
Sedangkan di sisi yang sama, mereka yang di daerahnya belum mendapat dukungan akses pembelajaran online terus menyuarakan pentingnya pembelajaran tatap muka.
Jika situasinya terus berjalan seperti ini, sesungguhnya telah menjadi kabar buruk bagi wajah pendidikan Indonesia di masa pandemi maupun di masa depan.
Inginnya kita, sistem pendidikan dan pembelajaran di Bumi Pertiwi berlayar menuju tujuan yang sama juga dengan arah yang sama.
Toh, kita hanya memiliki satu nakhoda, kan? Tambah lagi situasi di hari ini masih pandemi. Kabar buruknya, World Bank memberikan catatan merah terhadap kemampuan membaca pelajar usia 15 tahun ke bawah.
Menurut Bank Dunia, imbas sistem PJJ, hanya 30% siswa yang diprediksi mampu mendulang skor minimum kemampuan membaca dalam PISA. Padahal kita sama-sama tahu bahwa skor PISA pelajar Indonesia terus menurun sejak tahun 2009.
Dan hal lain yang terus menghantui masa depan pendidikan di Tanah Airku Tercinta sesuai analisis World Bank adalah; Anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah diperkirakan kehilangan lebih banyak waktu belajar daripada anak-anak dari keluarga yang lebih kaya.
Rasa-rasanya, kita akhir-akhir ini lebih sibuk mengurusi sistem daripada berkisah tentang bagaimana implementasi berbagai komponen-komponennya.
Kita banyak berbicara tentang bagaimana anak bisa bersekolah kembali, padahal walaupun anak bersekolah, belum tentu mereka belajar.
Kelas Masa Depan
Masa Depan Kelas dan Kelas Masa Depan. Image by Darkmoon_Art from PixabayÂ
Kembali menatap situasi pendidikan di era pandemi, sebenarnya seperti apa kelas yang kita harapkan di masa depan?
Dengan kesenjangan pendidikan yang ada saat ini, dengan kurikulum pembelajaran yang belum sepenuhnya jelas sebagaimana yang dirasakan hari ini, semua pihak menabur harap agar kelas masa depan bisa berjalan dengan fleksibel.
Ketika dulu masih gencar disuarakan visi long life education, sekarang mindset-nya berkembang menjadi; belajar bisa di masa saja, kapan saja, bersama siapa saja, serta menggunakan media apa saja.
Walau begitu mindset-nya, bukankah dalam kurun dua tahun terakhir ini kita seakan "dipaksa" untuk lebih akrab dengan teknologi? Di sebalik "paksaan" tersebut ada harapan bahwa kelas masa depan bisa lebih sering-sering menggunakan teknologi dan berbasis daring.
Blended learning yang hari ini masih sekadar ulas teori dan beberapa simulasi, sebentar lagi mungkin bisa menjadi opsi terbaik.Â
Tepatnya ketika fasilitas-fasilitas yang diperlukan bisa terpenuhi. Tapi ya, entah kapan bisa terpenuhi kalau tidak dipaksa oleh situasi.
Pada dasarnya, seperti apa pun situasi pendidikan kita di hari esok, setidaknya ada dua hal penting terkait kelas masa depan yang sangat krusial dalam pembelajaran.
Hal pertama; kelas masa depan bisa diciptakan dengan mengajak siswa untuk belajar di luar kelas.
Praktik terbaik ialah sebagaimana pembelajaran daring yang sudah/sedang kita laksanakan hari ini. Sedangkan praktik sederhana ialah mengeluarkan siswa dari kelas yang sempit untuk melihat dunia luar.
Tujuannya tiada lain ialah agar siswa bisa belajar mengaitkan teori dengan fenomena, mengaitkan ilmu dengan pengalaman, hingga mencari pratik terbaik atas sebuah kesimpulan yang sebelumnya hanya terukir di papan tulis.
Hal kedua; kelas masa depan bisa pula diciptakan dengan memasukkan segala hal yang ada di luar ke dalam kelas.
Jika tidak memungkinkan untuk mengeluarkan siswa dari kelas yang sempit, maka bisa kita coba untuk memasukkan segala hal yang ada di dunia ini ke dalam kelas.
Ya, di dalam ruang belajar itu bukan hanya ada buku cetak, penghapus, papan tulis, hingga buku bank soal melainkan juga perlu kita masukkan fenomena dari dunia luar kelas. Semakin banyak fenomena, kasus, gejala, serta pengalaman dari dunia luar, semakin luas pulalah isi kelas.
Barangkali dua komponen di atas sangatlah sederhana, tapi dengan praktik terbaik sejatinya kita bisa menciptakan kelas masa depan yang ideal dan fleksibel walau dengan kondisi apa pun.Â
Lha, daripada kita sibuk-sibuk mencari dan mendebati bagaimana sistem terbaik untuk kelas masa depan, mendingan langsung praktik, kan?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H