"Jika dihitung-hitung baru 3 bulan saja adikku berangkat kuliah dari kos-kosan. Sekarang masih kuliah daring, dan biaya indekos jalan terus."
Adikku sekarang sudah duduk di semester IV bangku kuliah. Dia memilih untuk melanjutkan studi jurusan ekonomi manajemen di Universitas Bengkulu sejak tahun 2019 lalu.
Karena tidak mungkin pulang-pergi dari Kota Curup-Bengkulu tiap hari, akhirnya dia memilih indekos.
Setelah daftar ulang semester I pada tahun 2019 lalu, aku pun mengantarnya keliling daerah sekitaran kampus untuk mencari kos-kosan yang cocok.
Rata-rata biaya indekos sekitaran 100-500 meter dekat kampus memang mahal. Tapi, ya, karena waktu itu adikku belum ada kendaraan, maka apa gunanya cari tempat tinggal yang jauh. Lagian juga, biaya indekos yang mahal juga seirama dengan fasilitas yang ditawarkan.
Trik Pemilik Indekos Agar Tidak Rugi
Biasanya kalau ngekos kita bisa memilih mau bayar perbulan, setiap triwulan, atau saban semester, kan? Tapi indekos di sekitaran kampus tempat adikku kuliah nyaris tidak ada yang seperti itu.
Ada trik khusus yang diterapkan oleh pemilik indekos untuk menggaet keuntungan dan memenangkan persaingan bisnis antar sesama penyedia tempat menginap.
Yup, di indekos tempat adikku tinggal, siapa pun yang mau bertempat tinggal di sana harus menyewa kos selama minimal 1 tahun. Alhasil, setiap mahasiswa bakal berpikir dua kali untuk pindah, kan?
Beda kalau indekosnya bisa dibayar tiap bulan. Dulu, teman kuliahku sering pindah-pindah indekos dengan alasan tidak nyaman. Ya, sebenarnya yang rugi pemilik kosnya, kan? Karena tidak selalu mudah mencari pengganti.
Mendingan Kuliah Tatap Muka atau Kuliah Daring?
Menurut pemaparan adikku, tiada perbedaan yang berarti antara kuliah tatap muka dengan kuliah daring. Bahkan, dijelaskan olehnya bahwa semenjak kuliah daring porsi tugas semakin sedikit.
Malahan, sekarang adikku lebih sibuk upgrade skills desain grafis dan membuat animasi. Ya bagus sih, daripada rebahan doang!
Bukannya pihak kampus tidak ingin segera menggelar pembelajaran tatap muka, tapi karena jumlah mahasiswa UNIB yang bahkan lebih dari 22ribu, maka risiko penularan covid-19 jadi cukup meresahkan.
Pada semester kemarin Wakil Rektor Universitas Bengkulu Lizar Afansi sempat menerangkan bahwa perkuliahan tatap muka bisa dimulai ketika semua pihak yang terkait dengan kampus sudah divaksin. Alhasil, lagi-lagi faktor keamanan dan kesehatan yang menjadi prioritas.
Hanya saja, sama seperti implementasi pembelajaran daring di jenjang sekolah yang lebih rendah, kuliah online juga menemui hambatannya.
Salah seorang muridku yang sekarang sedang kuliah di UGM mengaku bahwa dirinya sering mendapat ilmu setengah-setengah gara-gara sinyal internet yang kurang memadai.
Bahkan yang lebih unik adalah, mahasiswi yang sudah duduk di semester 2 ini sampai sekarang belum memijakkan kaki di UGM karena masih belajar online dari Kota Curup.
Namun, beda kampus beda pula tanggapan dan keinginan mahasiswanya. Menurut hasil survei UI (15/4/2021) dengan responden sebanyak 18.293 mahasiswa dan 1.610 dosen, didapat data bahwa hanya 24% mahasiswa yang berminat belajar tatap muka. Alhasil, blended learning pun jadi opsi.
Beda kisah, hasil survei Unpad (31/5/2021) dengan 1.857 responden menunjukkan data bahwa ada 68,3% mahasiswa yang lebih memilih kuliah tatap muka. Alasannya, mereka mulai jenuh dengan aktivitas kuliah online.
Alhasil, jawaban dari mendingan kuliah tatap muka atau kuliah daring dikembalikan lagi kepada masing-masing kampus. Soalnya sekarang sudah ada kebijakan Kampus Merdeka, bukan?
Alhasil, setiap kampus bisa menerapkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan para mahasiswanya.
Bukan Soal Kuliah Tatap Muka atau Daring, tapi Uang Indekos!
Akan selalu ada pro-kontra terkait kuliah tatap muka vs kuliah daring, tapi tidak melulu begitu kisahnya dengan adikku.
Jika ditilik dari sisi pengeluaran, maka pengeluaran uang indekos saat kuliah daring benar-benar terasa dan kurang kebermanfaatannya.
Bukan apa-apa, semenjak kuliah daring, adikku memilih untuk pulang ke Curup daripada tinggal di kosan. Terang saja, jika tetap kuliah daring sambil indekos, pengeluaran akan lebih besar terutama untuk biaya kebutuhan sehari-hari.
Jadi, mendingan pulang ke rumah keluarga, bukan?
Sayangnya, walaupun sedang pandemi dan para mahasiswa belajar daring, uang indekos tetap menjadi tanggungan, bahkan tetap dibayar penuh tanpa ada potongan.
Kalaulah indekos tadi sistem kontraknya tidak satu tahun, barangkali adikku sebagai mahasiswa bisa berhenti ngekos selama kuliah daring.
Tapi sayangnya pergantian kebijakan kuliah tatap muka dan kuliah daring kadang tidak bisa ditebak. Sama seperti pergolakan kasus pandemi corona. Jika kasus menurun, kuliah tatap muka bisa jadi opsi. Tapi jika kasus covid-19 kembali melonjak? Kuliahnya jadi daring lagi.
Pemilik indekos tidak mau rugi, mahasiswa juga tidak mau rugi. Agak sulit untuk menentukan titik temu antara keduanya.
Meskipun adikku tidak menginap di kosan, tapi barang-barangnya masih ada di sana sehingga pembayaran tetap normal. Ya, tidak memungkinkan pula jikalau adikku harus membawa barang-barangnya pulang dan pergi, kan?
Sekarang, setidaknya ada sedikit keuntungan bagi adikku meskipun indekosnya tidak ditunggui. Sementara ini dia tidak perlu membayar kebutuhan listrik dan WiFi.
Karena sebentar lagi dia akan segera magang, menurutku tiada gunanya pindah-pindah kos. Lagian juga biaya indekos tahun ini sudah dibayar. Yup, 4,5 juta/tahun. Tapi ya, paling tidak pemilik kosan bisa memberikan keringanan berupa potongan biaya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H