Akan selalu ada pro-kontra terkait kuliah tatap muka vs kuliah daring, tapi tidak melulu begitu kisahnya dengan adikku.
Jika ditilik dari sisi pengeluaran, maka pengeluaran uang indekos saat kuliah daring benar-benar terasa dan kurang kebermanfaatannya.
Bukan apa-apa, semenjak kuliah daring, adikku memilih untuk pulang ke Curup daripada tinggal di kosan. Terang saja, jika tetap kuliah daring sambil indekos, pengeluaran akan lebih besar terutama untuk biaya kebutuhan sehari-hari.
Jadi, mendingan pulang ke rumah keluarga, bukan?
Sayangnya, walaupun sedang pandemi dan para mahasiswa belajar daring, uang indekos tetap menjadi tanggungan, bahkan tetap dibayar penuh tanpa ada potongan.
Kalaulah indekos tadi sistem kontraknya tidak satu tahun, barangkali adikku sebagai mahasiswa bisa berhenti ngekos selama kuliah daring.
Tapi sayangnya pergantian kebijakan kuliah tatap muka dan kuliah daring kadang tidak bisa ditebak. Sama seperti pergolakan kasus pandemi corona. Jika kasus menurun, kuliah tatap muka bisa jadi opsi. Tapi jika kasus covid-19 kembali melonjak? Kuliahnya jadi daring lagi.
Pemilik indekos tidak mau rugi, mahasiswa juga tidak mau rugi. Agak sulit untuk menentukan titik temu antara keduanya.
Meskipun adikku tidak menginap di kosan, tapi barang-barangnya masih ada di sana sehingga pembayaran tetap normal. Ya, tidak memungkinkan pula jikalau adikku harus membawa barang-barangnya pulang dan pergi, kan?
Sekarang, setidaknya ada sedikit keuntungan bagi adikku meskipun indekosnya tidak ditunggui. Sementara ini dia tidak perlu membayar kebutuhan listrik dan WiFi.
Karena sebentar lagi dia akan segera magang, menurutku tiada gunanya pindah-pindah kos. Lagian juga biaya indekos tahun ini sudah dibayar. Yup, 4,5 juta/tahun. Tapi ya, paling tidak pemilik kosan bisa memberikan keringanan berupa potongan biaya.