Menurut pemaparan adikku, tiada perbedaan yang berarti antara kuliah tatap muka dengan kuliah daring. Bahkan, dijelaskan olehnya bahwa semenjak kuliah daring porsi tugas semakin sedikit.
Malahan, sekarang adikku lebih sibuk upgrade skills desain grafis dan membuat animasi. Ya bagus sih, daripada rebahan doang!
Bukannya pihak kampus tidak ingin segera menggelar pembelajaran tatap muka, tapi karena jumlah mahasiswa UNIB yang bahkan lebih dari 22ribu, maka risiko penularan covid-19 jadi cukup meresahkan.
Pada semester kemarin Wakil Rektor Universitas Bengkulu Lizar Afansi sempat menerangkan bahwa perkuliahan tatap muka bisa dimulai ketika semua pihak yang terkait dengan kampus sudah divaksin. Alhasil, lagi-lagi faktor keamanan dan kesehatan yang menjadi prioritas.
Hanya saja, sama seperti implementasi pembelajaran daring di jenjang sekolah yang lebih rendah, kuliah online juga menemui hambatannya.
Salah seorang muridku yang sekarang sedang kuliah di UGM mengaku bahwa dirinya sering mendapat ilmu setengah-setengah gara-gara sinyal internet yang kurang memadai.
Bahkan yang lebih unik adalah, mahasiswi yang sudah duduk di semester 2 ini sampai sekarang belum memijakkan kaki di UGM karena masih belajar online dari Kota Curup.
Namun, beda kampus beda pula tanggapan dan keinginan mahasiswanya. Menurut hasil survei UI (15/4/2021) dengan responden sebanyak 18.293 mahasiswa dan 1.610 dosen, didapat data bahwa hanya 24% mahasiswa yang berminat belajar tatap muka. Alhasil, blended learning pun jadi opsi.
Beda kisah, hasil survei Unpad (31/5/2021) dengan 1.857 responden menunjukkan data bahwa ada 68,3% mahasiswa yang lebih memilih kuliah tatap muka. Alasannya, mereka mulai jenuh dengan aktivitas kuliah online.
Alhasil, jawaban dari mendingan kuliah tatap muka atau kuliah daring dikembalikan lagi kepada masing-masing kampus. Soalnya sekarang sudah ada kebijakan Kampus Merdeka, bukan?
Alhasil, setiap kampus bisa menerapkan kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan para mahasiswanya.