"Daripada harus menumpang ke sekolah lain, mendingkan kami memilih untuk tidak mengikuti simulasi Asesmen Nasional. Selama ini SD kami saja belum bisa memfasilitasi kegiatan belajar daring seperti kepemilikan gadget, kuota, dan sinyal internet. Masa iya harus ikut ANBK."
Baru saja ingin dimulai, pelaksanaan ANBK (Asesmen Nasional Berbasis Komputer) sudah menghadirkan masalah.
Bahkan Mas Mendikbudristek Nadiem Makarim baru-baru ini sempat mendapat laporan bahwa ada satuan pendidikan yang meminta siswanya membeli laptop agar bisa mengikuti latihan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang merupakan salah satu bagian dari AN.
Waduh, padahal situasinya masih pandemi, tapi publik khususnya orang tua siswa semakin dibuat resah dengan hadirnya persepsi miring.
Sejatinya Asesmen Nasional itu dihadirkan untuk mengevaluasi pembelajaran secara umum dan tidak melibatkan konsekuensi individu bahwa siswa harus dapat nilai minimal segini dan segitu.
Tapi ya, sebagaimana awal kisah dihadirkannya AN sejak akhir tahun 2020 lalu, tes pengganti Ujian Nasional (UN) ini sudah membuat orang tua dan siswa ketar-ketir hingga muncullah yang namanya bimbel AKM.
Karena mungkin persepsi AN masih dianggap sama dengan UN, akhirnya tidak sedikit orang yang berprasangka bahwa nilai Asesmen Nasional nantinya jadi patokan kelulusan siswa.
Hanya saja, untuk mempersiapkan diri menghadapi AN, Mas Nadiem menyarankan agar siswa rajin-rajin berliterasi.
"Untuk meningkatkan AKM dalam hal literasi, peserta AN sebaiknya membaca buku, koran, majalah sebanyak-banyaknya. Sedangkan untuk meningkatkan kompetensi numerasi, tidak ada jalan pintas selain meningkatkan kemampuan berpikir kritis murid-murid secara sistematis. itu semua butuh proses dan memang tidak dapat dibimbelkan," ungkap Nadiem, dilansir dari laman Kemdikbud.
Pertanyaan pertama; jika kegunaan AN adalah untuk mengevaluasi mutu sistem pendidikan di Indonesia, bukankah siswa tak perlu melakukan persiapan khusus dalam belajar?
Jika siswa konsisten latihan soal AKM bahkan mengikuti bimbel, berarti tidak ada bedanya AN dengan UN. Alhasil, semakin menurunlah derajat kredibilitas yang dijadikan acuan mutu.
Sedangkan pertanyaan kedua; jika Asesmen Nasional benar-benar dihadirkan untuk memetakan pendidikan syahdan dijadikan landasan pacu untuk perbaikan sistem pembelajaran ke depannya, mengapa hanya satuan pendidikan dengan fasilitas teknologi yang memadai yang bisa mengikutinya?
Jika begitu, hasil dari AN tidak valid dan tidak mewakili mutu sistem pendidikan Indonesia yang sebenarnya.
Terpaksa Menumpang, Kami Memilih untuk Tidak Mengikuti Simulasi Asesmen Nasional
Berdasarkan surat edaran Kemendikbudristek melalui Pusat Asesmen Nasional tertanggal 12 Agustus 2021 kemarin, dirilislah pelaksanaan Simulasi ANBK yang wajib diikuti oleh satuan Pendidikan Jenjang SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK dan sederajat.
Penegasannya, simulasi Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) hanya untuk satuan pendidikan yang berstatus mandiri dan mandiri yang ditumpangi dengan moda daring atau semi daring. Dengan demikian, proktor dan teknisi wajib ikut, sedangkan siswa tidak diwajibkan.
Berbeda dengan kabar yang diterima Mas Nadiem bahwa sampai ada sekolah yang meminta murid membeli laptop, sekolah kami memilih untuk tidak mengikuti simulasi ANBK.
Bukan tanpa alasan, sarana dan prasarana ANBK yang tidak memadai telah menjadi permasalahan utama bagi SD kami.
Sebenarnya bisa saja para siswa terutama siswa kelas V diutus untuk mengikuti ANBK, tepatnya dengan cara menumpang di sekolah lain yang memiliki fasilitas. Tapi, apakah opsi tersebut adalah jalan tempuh yang bijaksana?
Izinkan saya sedikit bercerita. Dulu, pada gelaran UN tahun 2018, sekolah tempatku mengajar terpaksa harus meminjam belasan unit komputer ke SMP lain agar bisa menyukseskan UNBK.
Alhasil, kami harus menjemput komputer dengan jarak tempuh 2 jam karena lokasi sekolahnya cukup jauh.
Bukankah hal tersebut mengeluarkan biaya cukup banyak?
Kiranya kisah waktu itu masih cukup seirama dengan simulasi ANBK tahun ini. Kalau anak-anak SD kami terpaksa harus menumpang, alangkah repot dan sulitnya mereka untuk mengikuti AN, tambah lagi dengan situasi pandemi seperti ini.
Okelah, anggap saja sekolah tumpangannya dekat. Tapi bila nanti jaraknya cukup jauh? Maka semakin teranglah bahwa kegiatan ANBK menyusahkan.
Kasihan dengan sekolah-sekolah ujung yang siswanya bahkan belum pernah melihat dan memegang komputer.Â
Rasanya Mas Nadiem perlu perhatian dengan kasus seperti ini, jika memang mau memetakan mutu sistem pendidikan yang sebenar-benarnya mutu.
Kalau Begini Ceritanya, Maka Efektivitas Asesmen Nasional Semakin Diragukan
Sadar atau tidak, sejak beberapa bulan yang lalu sudah banyak beredar buku-buku terkait AN yang dijual dengan harga lumayan. Ada buku sikat AKM, buku sukses AKM, buku libas AKM, dan judul-judul sejenis.
Nah, pertanyaannya adalah, jika ujian pengganti UN ini tidak menentukan kelulusan, mengapa tajuk Asesmen Nasional malah menjadi ladang bisnis?
Dengan dijualnya buku-buku berisikan kiat lulus AKM dan AN, secara tidak langsung hal tersebut semakin meninggikan persepsi bahwa AN tidak ada bedanya dengan UN. Menurut saya, inilah problematika krusial yang pertama harus segera dituntaskan.
Syahdan, permasalahan kedua adalah sistem pelaksanaan Asesmen Nasional itu sendiri. Okelah, sekarang statusnya masih simulasi ANBK, tapi haruskah hanya berbasis komputer saja? Bagaimana dengan sekolah-sekolah pelosok dan 3T? Masa iya terpaksa harus undur diri.
Menurut saya ini masalah penting. Kalau pesertanya hanya diikuti oleh sekolah-sekolah yang punya fasilitas komputer dan mampu menggelar ujian berbasis komputer, lalu apa gunanya pemerintah menggelar Asesmen Nasional.
Jujur saja, instrumen asesmen nasional mulai dari asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar hasilnya tidak akan efektif karena tidak bisa menjangkau seluruh satuan pendidikan baik di pusat dan di daerah.
Sedihnya lagi bila nanti hasil dari AN tiap-tiap sekolah diumumkan bahkan dipublikasikan di media koran, televisi, maupun media daring dengan judul "Sekolah A nilai asesmennya tertinggi", atau "Berikut 10 SD dengan mutu sistem pendidikan terbaik berdasarkan AN", bukahkah hal tersebut akan melahirkan strata alias "kelas" bagi sekolah?
Ujung-ujungnya, semakin riuh minat siswa dan orang tua dalam buku-buku berlabel kiat lulus AN. O ya, jangan lupakan tentang bimbel.
Gara-gara persepsi yang salah, ternyata skema kisah AN bisa sedemikian rupa. Kemendikbudristek perlu mengatasinya sesegera mungkin sebelum nantinya Asesmen Nasional benar-benar dianggap publik "sama saja" dengan UN.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H