Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Miskin Jangan Lama-lama, Kasihan Keluarga!

21 Agustus 2021   21:05 Diperbarui: 21 Agustus 2021   21:04 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di saat senggang, aku sangat sering menemukan postingan maupun story Whatsapp yang isinya kalimat "Kalau miskin jangan lama, kasihan keluarga." Setelah kupikir-pikir, ternyata ada benarnya pula kalimat tersebut.

Ketika hidup dalam kemiskinan dan kemelaratan, sebuah jadi serba susah dan kekurangan. Mau makan susah, mau berhemat uang tak punya, mau sehat tak ada biaya, bahkan mau sekolah pun terasa tidak sanggup untuk membayar berbagai keperluannya.

Terlebih lagi di saat pandemi seperti sekarang ini. Bukan hanya diri yang kesusahan melainkan memang suasananya yang serba sulit. Terkadang, muncullah kata-kata yang kaya makin kaya, sedangkan yang miskin makin miskin.

Bukan apa-apa. Kemiskinan membuat anggota keluarga menderita. Mungkin seorang kepala keluarga sanggup hidup seadanya bin sederhana, tapi bagaimana dengan istrinya?

Katakanlah suami dan istri sanggup hidup dengan bahagia walau serba kekurangan, tapi bagaimana dengan anak-anak mereka?

Mana ada orang tua yang tega melihat anak-anak mereka tidak bisa bersekolah sebagaimana anak-anak lainnya.

Dan sedihnya, berdasarkan survei yang dilakukan United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF) tahun 2020 lalu, didapat hasil sebanyak 1% atau 938 anak berusia 7-18 tahun putus sekolah karena pandemi virus corona Covid-19.

Lebih detail lagi, dari jumlah tersebut, 74% anak dilaporkan putus sekolah karena alasan ekonomi. Mari kita hitung 74% x 938, ternyata ada 694.12 anak yang terpaksa putus sekolah gara-gara faktor kemiskinan.

Tapi, kan, ada sebuah hadis dari Rasulullah berupa ungkapan doa yang bunyinya begini: "Ya Allah! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".

Hadis riwayat Imam Ibnu Majah tersebut statusnya adalah hasan, tapi barangkali masih banyak orang-orang yang takut untuk mengamalkannya.

Tentu saja, kan? Walaupun hadis tersebut adalah doa dari Rasulullah SAW, memangnya siapa yang mau hidup miskin?

Sedihnya, beberapa orang kadang "menyerang" postinganku perihal mengamalkan hadis tersebut. Padahal, yang dimaksud miskin dalam hadis adalah rendah hati dan senantiasa khusyuk.

Dengan demikian, secara tidak langsung kita juga diajak untuk kaya, kan? Saat diri kaya, kita bisa menyenangkan keluarga, menyekolahkan anak, membayar zakat, hingga berbagi kepada orang-orang yang membutuhkan.

Maka dari itulah, hidup miskin sebaiknya jangan lama-lama karena pihak yang akan menderita adalah keluarga.

Persiapkan Aset Sejak Dimulai dari "Hari Ini"

Ilustrasi aset. Gambar oleh Nattanan Kanchanaprat dari Pixabay
Ilustrasi aset. Gambar oleh Nattanan Kanchanaprat dari Pixabay

Semua butuh persiapan, termasuk untuk melepaskan diri dari kemiskinan. Selama ini mungkin beberapa orang menganggap bahwa orang kaya itu adalah mereka yang memiliki banyak uang.

Salah! Itu sungguh pemahaman yang keliru. Sejatinya orang kaya adalah mereka yang punya banyak aset.

Dengan memiliki aset, seseorang sudah punya uang. Tapi sebaliknya, orang yang punya uang belum tentu punya aset.

Yang sedihnya lagi adalah, sebanyak apa pun uang nilainya akan terus tergerus seiring dengan berlalunya tahun.

Dulu pada tahun 2000-an ongkos naik ojek dengan jarak 7 KM cuma Rp1.500 saja. Tapi sekarang? Muridku yang bersekolah dengan jarak 300 meter harus membayar Rp2.000 jika mau berangkat sekolah naik ojek. Hiks

Sedangkan aset, semakin bertambah tahun nilainya akan semakin bertambah. Emas contohnya. Sebagai produk safe haven, nilainya semakin berharga jikalau semakin lama disimpan. Begitu pula dengan tanah. Betapa mahalnya harga tanah hari ini.

Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita menyiapkan aset sejak hari ini? Setahun yang lalu, almarhum Kakekku sempat membagi-bagikan aset kepada anak-anaknya berupa tanah. Dan sebulan yang lalu sahabatku bercerita bahwa Neneknya baru saja bagi-bagi emas sebagai warisan.

O ya, satu lagi. Ada pula temanku yang baru saja mendapatkan aset turunan dari orang tua berupa toko pupuk dan gudang sayur.

Dari kisah-kisah tersebut, aku menyadari betapa pentingnya aset terutama untuk masa depan kita. Mungkin bagi orang tua kehadirannya belum begitu terasa, tapi ketika kelak diwariskan kepada anak-anak? Lain lagi ceritanya.

Sabar, Syukur, dan Hidup Sederhana adalah Kunci

Pada dasarnya, tidak ada manusia yang dilahirkan ke bumi ini dalam status "miskin". Tiap-tiap yang bernyawa sudah diberi "kecukupan" oleh Allah. Minimal, setiap makhluk bisa menghidupi dirinya sendiri.

Sedangkan kemiskinan biasanya datang karena sikap diri yang selalu merasa kurang. Iya. Begitulah sifat manusia. Tiada pernah merasa puas.

Walau demikian, kemiskinan juga merupakan bagian dari ujian. Barangkali kata "kekurangan" lebih tepat untuk mewakilinya, ya.

Untuk menghadapi ujian tersebut, rasanya kita perlu memegang teguh 3 kunci yaitu sabar, syukur, dan hidup sederhana.

Terhadap suatu ujian, bukan keluhan yang semestinya kita hadirkan melaikan sikap sabar. Sadar atau tidak, perilaku sabar sangat penting terutama agar kita bisa tetap berpikir waras.

Syahdan, terhadap apa-apa yang kita punyai hendaklah selalu disyukuri. Dengan bersyukur nikmat akan terus ditambahkan oleh Sang Penyedia Rezeki.

Tanpa adanya syukur, terkadang kita malah lebih peduli dengan apa-apa yang tidak kita punyai. Inilah yang selanjutnya menumbuhkan rasa kemiskinan dalam diri yang juga diiringi dengan ketidakpuasan terhadap apa yang didapat.

Dan terakhir, selalu penting bagi kita untuk berusaha hidup sederhana. Bukan apa-apa. Seringkali sikap gengsi memaksa seseorang untuk hidup berdasarkan kemampuan orang lain, bukan kemampuan sendiri. Pada ujungnya nanti ya susah sendiri

Salam.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun