"Hemm. Tadi aku kan sudah bilang bahwa penilaian kebersihan itu paling-paling baru akan dilakukan pada tanggal 16 atau 18 Agustus. Jadi ya, kita tidak perlu capek-capek mempersiapkannya dari sekarang. Nanti juga kisahnya seperti hari-hari biasanya. Masih ada teman yang enggan peduli untuk piket, lalu aku lagi yang membuang sampah dan bersih-bersih."
Setelah mengucapkan kata-kata yang menohok, Arif pun langsung pergi meninggalkan kelas VII C dan berniat untuk pulang.
Sedangkan teman-temannya? Hanya diam. Tak berani menyanggah perkataan walaupun hanya satu huruf. Mereka sadar akan kesalahan dan keengganan untuk peduli, tapi di sisi yang sama mereka juga ingin mencoba untuk berempati.
Kembali ke Arif. Ia keluar dengan perasaan dingin. Ia sebenarnya peduli, tapi sekarang sudah mulai merasa lelah. Meski begitu, dirinya masih ingat dengan tanggung jawab sebagai pemimpin.
Sesaat ketika melewati kelas sebelah, Arif pun tertegun. Hatinya bergetar hebat setelah mendengar kata-kata dari seorang guru di akhir kelas.
"Apakah Kelemahan kita: Kelemahan kita ialah, kita kurang percaya diri sebagai bangsa, sehingga kita menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang memercayai satu sama lain, padahal kita ini asalnya adalah Rakyat Gotong-Royong" (Bung Karno)
Benar. Pernyataan itu hanyalah sebuah kalimat. Tapi Arif tersadar bahwa dirinya seakan-akan sudah bersikap seperti seorang penjajah yang menjajah kelas sendiri, menawan aspirasi dari teman-teman sekelas, bahkan menambal pendapat-pendapat inspiratif mereka.
Arif sadar bahwa ia sudah semena-mena dan seperti pidato Bung Karno, ternyata selama ini dirinya kurang memercayai teman-teman sekelas, padahal kepercayaan teman-teman sudah diberikan kepada Arif sepenuhnya.
Detik itu juga, Arif pun langsung kembali ke kelas VII C dan menyapa teman-temannya. Mereka pun akhirnya berdiskusi dengan ceria, dengan saling terbuka, dan menggaungkan rencana gotong-royong sebagai jalan mempermudah upaya.
***
Tamat.