"Aku sering menulis ulasan tentang kegiatan belajar-mengajar secara online menggunakan akses internet, tapi aku sendiri belum pernah mengajar daring!"
Mendengar cerita orang yang seru-seruan menggelar Pembelajaran Jarak Jauh, aku sebenarnya juga ingin nimbrung. Tambah lagi ketika ada rekan guru maupun Kompasianer yang berkisah tentang penggunaan seperangkat fitur Google Workspace yang profesional, kadang aku malah iri. Hahaha
Tapi, aku tidak punya banyak cerita tentang kegiatan mengajar yang menggunakan jaringan internet sebagai akses utama.
Padahal internet di rumahku lancar, bahkan belum lama ini sudah terpajang tower baru yang menjadikan kecepatan browsing-ku semakin gesit.
Apakah kami memasang Wireless Fidelity (WiFi)?
Sudah sejak lama dipertimbangkan, tapi melirik aktivitasku yang kebanyakan berkeliling dan bolak-balik "mengukur" jalan, rasa-rasanya lebih efisien membeli kuota internet saja.
Bagaimana tidak, di rumah, kedua orang tuaku tidak butuh dengan internet. Benar! Untuk berkomunikasi mereka hanya menggunakan ponsel seluler. Bukannya jadul, tapi baik Ayah dan Ibuku tidak memerlukan akses internet untuk mendukung pekerjaaan mereka.
Menyadap nira lalu membuat gula aren misalnya, apakah perlu Ayahku melakukan swafoto saat memanjat pohon enau? Hahaha, sungguh kurang kerjaan!
Hanya ada adik bungsuku yang stand by di rumah. Dia baru saja masuk SMA, terkait penggunaan kuota internet, kucermati tidaklah boros-boros amat. Malah dia jarang online.
Internet di rumahku lancar, tapi tidak bisa dimanfaatkan untuk mengajar. Sesekali aku berpikir bahwa keadaan ini cukup memusingkan.
Dari sudut pandang guru, aku merasakan betul bahwa kegiatan upgrade kompetensi digital berupa penguasaan TIK dalam aktivitas mengajar itu sangat penting di era Merdeka Belajar.
Ada 2 sandaran motivasiku. Pertama, aku masih muda. Dan kedua, karierku masih bisa dipanjat hingga beberapa jenjang lagi.
Sekarang statusku masih Penata Muda, sedangkan untuk menuju Mendikbudristek, jenjangnya masih sangat jauh, kan? Maaf, aku bercanda. Hahaha
O ya, SD tempatku mengajar terletak di kabupaten sebelah. Kepahiang namanya, sedangkan aku berdomisili di Curup. Jarak tempuh dari rumahku ke sekolah paling cepat 55 menit. Itu jika jalanan sepi. Biasanya aku menghabiskan waktu 1 jam.
Di sana tidak ada pembelajaran daring karena benar-benar belum ada akses internet. Karena daerahnya tidak menerapkan kebijakan PPKM, sekolah kami pun dipersilakan belajar luring.
Datang ke sekolah, siswa mengambil atau mengumpulkan tugas, guru mengajar maksimal 30 menit, lalu selesai. Jika dihitung-hitung, lebih lamalah waktuku pulang-pergi daripada stand by di sekolah. Hemm
Andai saja desa di SD tempatku mengajar ada sinyal internet yang cukup lancar, rasa-rasanya waktuku mengajar bisa lebih efektif, kan? Terutama efektif untuk memperbaharui kompetensi digitalku dalam rangka menyukseskan PJJ.
Karena sekolah harus digelar secara luring, maka kegiatanku menggunakan jaringan internet untuk mengajar sungguh terbatas.
Sesekali, aku juga ingin mencoba Blended Learning, atau mengajar anak-anak menggunakan Google Classroom, video Powtoon, atau bahkan game asyik seperti Kahoot. Ya, minimal agar pelatihan dan berbagai webinar yang aku ikuti itu langsung bisa dipraktikkan.
Tapi? Belum saatnya. Aku baru bisa latihan sendiri, praktik sendiri, dan trial error sendiri.
Kami para guru yang mengajar di sekolah tanpa akses internet ini dituntut untuk menyukseskan pembelajaran luring. Ya, mudah-mudahan Bumi Pertiwi ini lekas "sembuh" agar kita bisa sama-sama menggelar pembelajaran tatap muka.
Meski demikian, ada sedikit hal yang menjadi poin kegelisahanku dan rekan-rekan guru. Kami merasa begini; Mas Nadiem maupun Kemendikbudristek lebih fokus terhadap pembelajaran daring berikut dengan layanan digital yang mendukungnya.
Ada banyak lho terobosan yang sudah digarap oleh Kemendikbud. Sebut saja seperti pembaruan fitur di portal Rumah Belajar, Laman online Guru Berbagi, hingga akun pembelajaran multiguna situs belajar.id.
Sadarkah kita, kesemua yang dihadirkan oleh Mas Menteri dan Kemendikbudristek itu adalah untuk mendukung pembelajaran daring yang menggunakan sinyal internet, kan?
Sejauh itu, belum terdengar inisiatif lain dari Mas Nadiem untuk menyukseskan pembelajaran luring kecuali "proyek" bagi-bagi laptop. Rencananya bagus, tapi kan tidak bisa cepat!
Lebih jauh lagi, pelatihan atau training tentang metode pembelajaran luring yang efektif dan menyenangkan pun belum ada kutemui. Padahal internet di rumahku lancar, kan?
Alhasil, sebagai penutup dari tulisan ini, aku berharap agar pemerintah melalui Mas Nadiem dan jajaran Kemendikbudristek lebih care dengan eksistensi pembelajaran luring. Soalnya terkadang para guru bingung tentang apa metode mengajar lain yang cocok untuk pembelajaran luring.
Bisa dibayangkan, bukan? Semisal sekolah mau buka kelas, maksimalnya cuma beberapa jam.
Bahkan, surat edaran dari Dikbud setempat malah menegaskan bahwa pembelajaran luring dilaksanakan dengan cara siswa (atau wali murid) datang ke sekolah hanya untuk mengambil atau mengumpulkan tugas. Kalau begitu, tidak ketemu suasana belajarnya.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H