Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

PPDB Sekolah Negeri di Desa dan Bayang-bayang Regrouping yang Menghantui

29 Juni 2021   05:55 Diperbarui: 30 Juni 2021   05:00 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para murid di Sekolah Dasar (SD) Muhammadiyah 4 Filial yang terletak di Desa Saluran, RT 36, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.(KOMPAS.COM/AJI YK PUTRA)

"Bu, jadi berapa total siswa baru yang sudah pasti daftar ke SD kita?"

"Ada 5 orang itulah, Zy."

Sembari minum kopi hangat, kepala sekolah pun ikut nimbrung dengan pembicaraan kami.

"Tambahlah lagi murid-murid kita, Bu. Sampaikan kepada tetangga dekat rumah."

***

Percakapan di atas terjadi pada Rabu (23/06/2021) ketika aku dan segenap rekan guru berkumpul di ruang guru SD.

Kala itu kami akan segera mengikuti kegiatan vaksinasi yang bertempat di salah satu puskesmas di Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.

Beberapa bulan yang lalu, sebenarnya aku dan rekan-rekan guru senior cukup resah dengan nasib SD kami, terutama pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun pelajaran 2021/2022.

Bagaimana tidak resah, ketika segenap sekolah lain sibuk menghitung dan mengatur kuota siswa baru, SD kami malah berjuang seraya harap-harap cemas demi mendapatkan beberapa orang murid.

Bahkan, berkaca dari tahun sebelumnya, SD Negeri di desa ini hanya mendapatkan dua orang murid saja, dan kedua-duanya adalah perempuan.

Dengan demikian, bisa terbayangkanlah olehmu ketika suatu hari ada salah satu dari siswi yang sakit atau tidak bisa masuk. Sepi dan sunyilah kelas I. Pernah kejadian beberapa kali, kedua siswi tersebut absen sehingga guru kelas pun jadi nimbrung ke kelas sebelah. Hemm.

Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Begitulah sejatinya eksistensi SD Negeri kecil di desa yang juga cukup terpencil. 

Ada bayang-bayang regrouping yang sesekali menghantui, dan hal tersebut sempat diungkapkan oleh kepala sekolah kami pada kegiatan pelepasan siswa kelas 6.

"Kalau bukan anak-anak desa ini yang bersekolah di SD kita, maka siapa lagi yang bakal memajukan sekolah. Di sebelah memang ada Madrasah Ibtidaiyah, tapi alangkah sedihnya kita ketika SD ini tidak dapat murid. Padahal ada guru baru, mereka PNS, masih muda, sudah sertifikasi, bahkan ada yang sebentar lagi tamat S2."

Begitulah sepotong kalimat yang disampaikan oleh kepsek SD kami pada 17 Juni 2021 lalu. 

Aku masih ingat betul karena di hari pelepasan siswa yang lulus itu, aku menjadi penanggung jawab kegiatan serta mengontrol jalannya acara.

PPDB Sekolah Negeri di Desa (Offline) (Ilustrasi: Jawapos)
PPDB Sekolah Negeri di Desa (Offline) (Ilustrasi: Jawapos)

Meski demikian, SD kami masihlah beruntung. Ada 6 orang peserta didik yang lulus, dan ada 5 calon siswa baru yang sudah menyelesaikan pendaftaran.

Hebatnya lagi, 2 orang dari siswa baru tersebut rela datang dari ladang yang cukup jauh untuk mendaftar ke SD.

Padahal pada saat itu kami baru mulai melaksanakan ujian semester dan PPDB sama sekali belum dibuka. Tapi biarlah, toh mereka benar-benar ingin bersekolah, kan?

Berbeda kisahnya dengan SD tempat sahabatku mengajar. Lokasinya lebih terpencil lagi dan dalam kurun waktu dua tahun ini mereka tidak mendapat siswa baru. Total siswanya saat ini cuma 7 orang.

Aku pula sempat bertanya, mungkinkah SD tersebut bakal terkena kebijakan regrouping atau malah ditutup; dia menerangkan bahwa rencana kebijakan penggabungan SD belum diketuk palu. Masih sekadar usulan.

Dan hari ini, aku pula mendapat informasi bahwa ada 5 SMP di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu yang terancam ditutup.

Bukan regrouping, SMP negeri terancam tutup (Ilustrasi: DRI via Kompas)
Bukan regrouping, SMP negeri terancam tutup (Ilustrasi: DRI via Kompas)

Kelima sekolah tersebut juga merupakan sekolah negeri. Diterangkan oleh Jumanto selaku Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mukomuko, 5 SMP negeri tersebut terancam tutup gegara jumlah siswa yang selalu kurang setiap tahunnya.

"Sekolah negeri ini terancam ditutup, jumlah siswa selalu kurang setiap tahunnya atau jauh dari standar minimal," kata Jumanto sebagaimana yang aku kutip dari Kompas, Minggu (27/6/2021).

Bagaimana pemangku kebijakan dan kita semua menyikapi hal ini?

Agaknya begitu dilematis, ya. Entah itu tindakan menutup sekolah maupun regrouping, keduanya adalah perkara sulit yang membutuhkan banyak pertimbangan.

Di satu sisi, biarpun sekolah negeri itu kecil dan siswanya sedikit, kebutuhan guru hingga berbagai fasilitas pendidikan tetap harus dipenuhi.

Sedangkan di sisi lain? Alih-alih mau berjuang meningkatkan eksistensi sekolah negeri di desa, kisah pemerataan guru saja entah kapan menemui kenyataan.

Kita pula tidak bisa menyalahkan keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah swasta atau sekolah negeri yang populer. 

Mereka juga punya hak, bahkan usaha seperti numpang KK pun ditempuhnya. Begitulah opsi agar bisa lolos seleksi PPDB zonasi.

Tapi, sekolah negeri di desa yang semakin kesepian pula tidak bisa sekadar bergabung kemudian membentuk kelas pararel. Agaknya jalan itu terdengar begitu rumit untuk ditempuh.

Bayang-bayang Regrouping yang Menghantui Sekolah Negeri

Sengaja kutulis judulnya bayang-bayang, karena kisah regrouping memang tidaklah sesederhana itu.

Aku sempat bertanya kepada salah satu guru senior sekaligus mantan kepala sekolah di SD kami, sangat jarang adanya kisah regrouping. Tapi tetap ada, dan begitu pula dengan kisah sekolah yang terpaksa ditutup.

Untuk diketahui bersama, regrouping merupakan kegiatan penggabungan beberapa sekolah negeri menjadi satu guna mencapai efisiensi anggaran, dan efektifitasnya untuk peningkatkan mutu pendidikan.

Salah satu pedomannya bisa dicermati dalam Permendikbud RI nomor 36 th 2014 dan nantinya pula diseiramakan dengan kebijakan bupati.

Sebagai studi kasus, pada Januari 2021 kemarin salah satu SMP negeri di kecamatan Binduriang, Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu, terpaksa tutup operasional gegara tidak memiliki siswa.

Ilustrasi bangku kosong di sekolah (Gambar oleh David Mark dari Pixabay)
Ilustrasi bangku kosong di sekolah (Gambar oleh David Mark dari Pixabay)
Diterangkan oleh Khirdes Lapendo Pasju selaku Kepala Disdikbud, SMP negeri yang terakhir hanya menyisakan dua orang siswa itu bukan digabung melainkan ditutup, dan gedung sekolah rencananya akan dipinjam-pakaikan oleh MTs di wilayah terkait.

Berdasarkan kasus tersebut, agaknya pilihan penutupan sekolah lebih tepat karena di wilayah terkait masih tersedia sekolah dengan jenjang sederajat. Secara, dalam satu kecamatan setidaknya sudah tersedia satu SMP/sederajat.

Syahdan, bagaimanakah dengan SD negeri?

Rasanya kurang adil jika kita menyandarkan kebijakan penggabungan sekolah negeri hanya demi mengharapkan peningkatan mutu pendidikan. Nyatanya, kisah di lapangan tidaklah sebercanda itu.

Ada banyak SD negeri yang terpaksa harus terus beroperasi biarpun jumlah siswanya tergolong sangat sedikit. Ada beberapa alasan yang bisa menjadi pertimbangan.

Langsung saja aku ambil contoh di SD tempatku dan sahabatku mengajar saat ini. Walaupun ada sistem 1 SD 1 desa, tapi letak masing-masing SD cukup jauh.

Desanya bukanlah berupa pemukiman yang padat penduduk, tapi karena ada anak-anak yang tinggalnya di kebun, maka tiada opsi lain bagi mereka untuk belajar jika SD yang sepi murid tadi ditutup.

Juga, berdasarkan penelitian yang berjudul Dampak Regrouping Sekolah Dasar dengan studi kasus SD Pakem 1 di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman oleh Sudiyono dkk (2009), direngkuh dampak negatif penggabungan sekolah negeri sebagai berikut:

  • Penggabungan sekolah belum didukung oleh kebijakan teknis operasional terkait dengan pengelolaan sarana dan prasarana dan pengelolaan kelas paralel
  • Adanya penurunan prestasi akademik peserta didik SD Pakem 1
  • Muncul kelas paralel tapi kekurangan fasilitas ruangan kelas
  • Fasilitas gedung sekolah lama menganggur, bahkan dibiarkan rusak dan digunakan untuk menimbun barang rongsokan
  • Motivasi untuk menjadi kepala sekolah rendah, dan
  • Mendapatkan siswa yang memiliki kemampuan yang lebih rendah.

Lho, bukankah harapan penggabungan sekolah negeri adalah untuk peningkatan mutu dan kualitas pendidikan?

Harapan itu sebenarnya bisa saja tercapai andai seperangkat hal teknis serta berbagai komponen pendukung regrouping yang disebutkan di atas bisa ditambal, dikelola, serta mau diseriusi oleh semua pihak yang terkait dengan kebijakan penggabungan sekolah.

Tapi, ya, fakta yang pelik mau tidak mau harus kita terima dengan motto "perjuangan tanpa batas".

Di lapangan tentu masih ada temuan seperti SD-nya negeri, siswanya sedikit, (sangat) kekurangan guru, fasilitas pendidikan seadanya, serta dihantui oleh bayang-bayang regrouping dan mutasi.

Ketika ada daerah yang kisahnya mirip-mirip dengan fenomena yang aku ceritakan di atas, maka baik regrouping maupun penutupan sekolah keduanya tidak semata-mata bisa dipilih.

Dengan terpaksa, sekolah itu harus tetap berdiri, dan para tenaga pendidik tetap diharapkan tulus mengabdi.

Sekolah negeri di desa mungkin belum begitu perlu mengenal apa itu PPDB sistem zonasi, sistem prestasi, maupun afirmasi. Ada siswa yang mendaftar walaupun hanya 1,2, dan 3 orang saja mereka sudah bersyukur.

Pemerintah perlu ikut perhatian tentang fenomena ini. Serius! Soalnya, sekolah negeri di desa, sekolah di daerah terpencil, hingga sekolah di daerah 3T juga menjadi bagian dari pendidikan nasional sebagai sebuah sistem.

Bahwa jauh dari keramaian PPDB di kota beserta hiruk pikuknya, ada sebagian sekolah negeri di berbagai desa yang dihantui oleh bayang-bayang regrouping.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun