Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Begitulah sejatinya eksistensi SD Negeri kecil di desa yang juga cukup terpencil.Â
Ada bayang-bayang regrouping yang sesekali menghantui, dan hal tersebut sempat diungkapkan oleh kepala sekolah kami pada kegiatan pelepasan siswa kelas 6.
"Kalau bukan anak-anak desa ini yang bersekolah di SD kita, maka siapa lagi yang bakal memajukan sekolah. Di sebelah memang ada Madrasah Ibtidaiyah, tapi alangkah sedihnya kita ketika SD ini tidak dapat murid. Padahal ada guru baru, mereka PNS, masih muda, sudah sertifikasi, bahkan ada yang sebentar lagi tamat S2."
Begitulah sepotong kalimat yang disampaikan oleh kepsek SD kami pada 17 Juni 2021 lalu.Â
Aku masih ingat betul karena di hari pelepasan siswa yang lulus itu, aku menjadi penanggung jawab kegiatan serta mengontrol jalannya acara.
Meski demikian, SD kami masihlah beruntung. Ada 6 orang peserta didik yang lulus, dan ada 5 calon siswa baru yang sudah menyelesaikan pendaftaran.
Hebatnya lagi, 2 orang dari siswa baru tersebut rela datang dari ladang yang cukup jauh untuk mendaftar ke SD.
Padahal pada saat itu kami baru mulai melaksanakan ujian semester dan PPDB sama sekali belum dibuka. Tapi biarlah, toh mereka benar-benar ingin bersekolah, kan?
Berbeda kisahnya dengan SD tempat sahabatku mengajar. Lokasinya lebih terpencil lagi dan dalam kurun waktu dua tahun ini mereka tidak mendapat siswa baru. Total siswanya saat ini cuma 7 orang.
Aku pula sempat bertanya, mungkinkah SD tersebut bakal terkena kebijakan regrouping atau malah ditutup; dia menerangkan bahwa rencana kebijakan penggabungan SD belum diketuk palu. Masih sekadar usulan.