Hai, semua. Aku adalah seorang guru PAI di sebuah sekolah dasar. Bagiku, menjadi guru SD itu melahirkan seperangkat rasa. Menyenangkan? Iya! Mengasyikkan? Pasti!
Apakah yang aku maksud adalah persoalan gajian? Enggak, kok. Tenang saja. Menurutku, semua guru statusnya sama.
Entah itu guru honorer, guru kelas, guru mata pelajaran, guru kontrak, masing-masing dari mereka berhak untuk menebar ilmu.
Nah, yang membedakannya adalah cara mengajar. Lulusan pendidikan guru sekolah dasar terbaik, belum tentu mampu mengaktualisasikan metode, pendekatan, serta strategi mengajar yang terbaik pula.
Faktanya, kisah di lapangan terkadang sangat berbeda dengan suasana microteaching di ruang kuliah.
Maka dari itulah, pengalaman mengajar akan memudahkan seorang guru untuk memunculkan kreativitas dan inovasi pembelajaran di sekolah dasar.
Syahdan, apakah guru SD yang menyenangkan itu harus mengutak-atik kurikulum pembelajaran tematik?
Stop! Lupakan sejenak keharusan itu. Di sini aku ingin berkisah tentang 5 alasan mengapa jadi guru SD itu menyenangkan.
Kok kita? Iya, dong. Karena aku juga sudah bilang, bahwa aku adalah seorang guru SD. Guru SD yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam. Cihui!
Lha, pandangan kesenangannya nanti bakal subjektif, dong? Please, deh! Baca dulu sampai tuntas, barulah kemudian kita berkisah tentang subjektivitas.
Oke?
Oke!
1. Guru SD Cenderung Pulang Cepat
Pulang cepat kok dijadikan alasan yang membahagiakan!
Ya, enggak masalah, dong. Ini fakta, dan fakta ini semakin objektif ketika kita berkisah tentang seorang guru SD yang mengajar di sekolah negeri.
Pengalamanku, rata-rata siswa SD belajar di ruang kelas selama 6-8 jam saja. Di sekolah lain mungkin ada yang sampai 10 jam.
Tapi, itu enggak semua. Barangkali SD swasta yang memiliki durasi belajar di kelas lebih lama. Hampir setara dengan full day school. Kalau enggak salah.
Pada intinya, 1 jam di sekolah dasar bernilai 35 menit saja. Kalau kita kalikan 35 menit dengan 6-8 jam pelajaran, berarti total jam belajar di SD berkisar 210-280 menit alias 3,5-4,67 jam saja.
Sekarang kita anggap siswa SD setiap harinya masuk kelas pukul 07.00 WIB. Ditambah 3,5 jam, berarti siswa tadi akan pulang jam 10.30 WIB, kan?
Yeyeye, pulang cepat!
Begitulah. Seingatku dulu, anak SD kelas 1 biasanya pulang jam 10.00 WIB, sedangkan anak kelas II SD pulang pukul 10.30 WIB.
Jenjang kelas yang pulang paling lama hanyalah anak SD kelas 4,5, dan 6, yaitu berkisar antara jam 12.00 WIB -- 13.00 WIB.
Ada kok, yang lebih dari itu!
Tergantung. Kepala sekolah A dan kepala sekolah B memiliki kebijakan yang berbeda, kan.
Terlebih lagi ketika ada mata pelajaran tambahan yang menjadi andalan di sekolah tersebut. Misalnya? Sebut saja seperti muatan lokal, atau juga ada ekstrakulikuler.
Sedangkan si guru SD, biasanya akan pulang setelah jam pelajaran terakhir selesai.
Datang jam 07.00 WIB, pulang jam 12.00 -- 13.00 WIB. Kan enak! Secara, sang guru SD akhirnya bisa melakukan pekerjaan lain, aktivitas lain, serta usaha sampingan yang lain.
Ada yang jualan, silakan. Ada yang bertani, silakan. Ada yang menjadi tukang ojek, juga boleh. Bahkan, ada pula yang sudah bersantai menikmati tidur siang atau menunggu kegiatan masak di sore hari.
Juga boleh? Boleh saja, yang penting tak ada pertengkaran. Hahaha
Eits, aku enggak sedang berkisah tentang guru SD honorer dengan guru SD PNS, ya! Soalnya, honorer dan PNS bukanlah patokan rezeki.
Dalam artian, belum tentu guru SD PNS penghasilannya lebih besar daripada guru SD honorer. Toh, jalan rezeki kan bukan dilirik dari statusnya.
Warisan?
Bukan juga!
Lalu?
Ya tergantung apa kegiatan dan ikhtiar yang tiap-tiap guru SD usahakan, dong. Maka dari itulah, guru SD boleh berbahagia karena mereka bisa mengajar dan pulang cepat, kan?
Sip. Dengan durasi mengajar yang cenderung singkat, sebenarnya seorang pendidik sekaligus pengajar di sekolah dasar malah menyelamatkan anak-anak dari kejenuhan loh.
Sebuah studi dari Teeney School yang bertempat di Houston menjelaskan bahwa, durasi pembelajaran di kelas yang terlalu lama akan menghancurkan struktur sekaligus suasana kelas.
Rumusnya seperti ini:
Semakin lama guru berada di kelas, semakin sadarlah dirinya bahwa waktu instruksi berharga telah hilang.
Semakin lama pelajaran berlangsung, semakin sulit bagi guru untuk menilai dengan tepat berapa waktu yang diperlukan siswa untuk merengkuh makna dari materi ajar.
Jika kita kembali menatap usia siswa SD, rumus tersebut menjadi masuk akal, kan?
Bahkan, mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi pun hanya memiliki rentang perhatian dengan rata-rata 10 menit.
Bayangkan, orang dewasa saja perhatiannya hanya 10 menit!
Baiklah. Sekarang kita lirik berapa lama kemampuan seorang siswa untuk tetap berkonsentrasi dalam belajar. Silakan perhatikan infografis berikut:
Siswa SD berumur 12 tahun konsentrasi belajarnya hanya 24-36 menit saja? Wah, beruntungnya mereka para guru SD yang mengajar di jam pertama, ya.
Syahdan, bagaimana bila jika guru SD yang mengajar di jam terakhir ingin menerbitkan critical thinking?
Aku rasa, guru yang mengajar di jam berikutnya harus sering-sering menyelipkan ice breaking. Kalau enggak begitu, ya, siswa enggak bakal konsentrasi lagi. Pikiran mereka sudah buyar melanglang-buana entah ke mana. Hemm.
Jadi, inti dari pembahasan ini, makin singkat durasi belajar siswa SD, maka makin mudah tugas guru dalam menuangkan instruksi dan materi ajar, kan?
Sip, noted!Â
Berbahagialah kita para guru SD. Ternyata singkatnya waktu mengajar di Sekolah Dasar enggak hanya menguntungkan guru saja, melainkan juga para siswanya.
Beruntunglah pula pembelajaran sistem full day school di SD sudah dihapus, ya. Kalau masih digelar, enggak terbayang oleh kita bagaimana tingginya derajat kejenuhan yang bertebaran di sekitar lingkungan sekolah.
Kasihan anak-anak SD!
Psikososial mereka pasti terguncang. Secara, hidup ini enggak selalu berkisah tentang sekolah dan ruang kelas saja, kan?
Kasihan pula dengan para guru SD yang seakan-akan enggak punya urusan dan kesibukan lain, kecuali hanya bertatap dengan meja, kursi, siswa, hingga papan tulis.
Guru SD kan juga punya anak!
Tapi tetap saja, profesi guru SD itu menyenangkan kok. Di sebalik keluh kesah dan ke-ambyar-an birokrasi hingga administrasi, mereka bisa tetap menimba kebahagiaan sepulang dari kegiatan mengajar.
2. Guru SD Memiliki Jatah Libur yang Relatif Banyak
Libur...libur...libur telah tiba. Berapa banyak hari libur untuk seorang guru SD? Banyak, ya. Sungguh kenikmatan yang luar biasa kalau pekerjaan yang ruwet sering diselingi oleh liburan.
Eits, kita tak perlu buru-buru mengamati kaldik alias kalender pendidikan, ya. Hehehe. Kita tuangkan saja hari libur secara umum. Toh, guru SD pasti sudah hapal, kan.
Hari Minggu? Libur.
Tanggal merah di kalender? Libur.
Menjelang puasa? Libur.
Menjelang lebaran? Libur.
Sesudah terima rapor semester ganjil? Libur.
Sesudah terima rapor semester genap? Libur.
Mau melahirkan? Libur.
Mau menemani istri melahirkan? Libur.
Ulang tahun provinsi/kabupaten? Kadang-kadang libur.
Lupa ambil cuti tahunan? Ambil saja, itu hak guru untuk libur.
Dan, hari-hari libur lainnya di luar ketentuan. Eh, tapi bukan bolos kerja, ya.
Ketika kita menyoroti profesi lain, adakah mereka mendapat jatah libur ketika anak-anak selesai terima rapor?
Oh, tentu enggak ada, kan. padahal lumayan loh, rata-rata liburnya 2 minggu. Guru SD gitu loh!
Sudah jenuhnya relatif sedikit, waktu mengajar cenderung singkat, syahdan, liburannya banyak pula! Apa masih kurang membahagiakan?
Jangan salah, ya. Liburan itu penting, baik bagi guru SD maupun berbagai macam profesi pekerjaan lainnya.
Tertuang dalam situs kesehatan Alodokter, pekerjaan yang menumpuk dan terus menggunung kerapkali membuat seseorang jenuh serta dihampiri stres.
Lebih dari itu, beberapa orang bahkan bisa saja membawa sekumpulan tugasnya hingga bertamu ke alam mimpi. Kasihan, kan? Sudah tugasnya banyak, belum selesai-selesai, hingga mimpi indah pun direnggut olehnya.
Dari sana, solusi terbaik sekaligus paling efektif adalah:
"Kamu butuh piknik!"
Silakan ambil cuti, lapor kepada atasan, lalu berliburlah!
Dengan liburan, pikiran seseorang akan kembali segar, kesehatan jantung akan semakin terjaga, semangat hidup meningkat, bahkan ukuran lingkar pinggang juga berkurang.
Asyik, kan?
Biasanya guru SD cenderung menikmati masa liburan sekolah. Walaupun yang diajar hanyalah anak-anak usia 6-12 tahun, sejatinya beban guru cukup terasa terutama di bidang administrasi.
Apalagi sekarang, ada yang namanya pembelajaran tematik. Kalau kita menatap RPP dan segenap perangkat pembelajaran SD lainnya, ternyata waw banget!Â
Bisa jadi waktu 7x24 jam enggak akan cukup untuk menyelesaikan semuanya.
Enggak cukup sampai di sana, dari sisi pengerjaan dan pengisian rapor juga begitu. Seingatku, dalam kurun 2-4 tahun terakhir pengisian rapor secara elektronik (e-rapor) semakin digencarkan.
Dari segi teori sebenarnya e-rapor adalah teknologi yang sifatnya memudahkan pekerjaan manusia, kan?
Tapi pada kenyataannya, rapor elektronik ini terkadang sistemnya suka error dan merajuk sendiri.
Akibatnya?
Ya, data yang sudah diinput, hilang. Mau enggak mau, akhirnya mengisi ulang. Hemm, tak mengapalah, ya. Tantangan guru SD. Jalani dengan lapang hati dan murah senyum. Cihui!
Terpenting, jatah libur sesuai kalender akademik kan enggak berubah. Hehehe, Cihui lagi.
3. Pada Dasarnya Siswa SD Itu Jujur dan Cinta Damai
Ah, cinta damai apanya. Siswa SD kan suka berkelahi! Benar, dan memang begitulah kenyataannya.
Anak-anak seusia SD suka berkelahi, suka menangis, suka berlarian, suka bermain, suka bercanda, suka tebak-tebakan, bahkan suka mengejek sesama temannya. Hahaha
Sebagai guru SD, aku pun menerimanya. Enggak ada alasanku untuk mencari dalih sebagai upaya untuk menolak anggapan tersebut.
Dalam buku Psikologi Belajar racikan Syaiful Bahri Djamarah, siswa SD cenderung suka memuji diri sendiri.
Hal ini didasari oleh banyak aspek. Entah karena rambutnya yang lurus, baju baru, mainan baru, dan sebagainya.
Siswa SD suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain. Pokoknya enggak mau kalah, hingga anak lain diremehkannya. Setelah itu? Berkelahi, lalu nangis. Hahaha
Siswa SD menghendaki nilai rapor yang tinggi, makanya mereka sangat senang sekali diberi nilai (diponten). Apalagi materi pelajaran menggambar, maunya diberi nilai 100. Padahal gambarnya?
Auh ahh, gelap! Namanya juga anak-anak.
Siswa SD amat realistik, ingin tahu, ingin belajar, serta cenderung membentuk kelompok sebaya.
Terkadang, kalau sudah berkelompok, mereka suka buat peraturan sendiri. Syahdan? Diajaklah sang guru untuk bermain bersama mereka. Momentum ini pasti sangat seru.
Saat ikut bermain bersama siswa, saat itulah guru SD mengetahui karakteristik para siswanya.
Siswa A suka pamer.
Siswa B suka merajuk, sebentar-sebentar menangis.
Siswa C enggak pernah mau kalah.
Siswa D mau selalu di depan dan terdepan.
Siswa E? Suka sama siswa D.
Dan sebagainya.
Biarpun demikian, siswa SD itu hebat. Hebat dari mana?
Siswa SD itu JUJUR!
Mereka jujur dengan perasaannya, apapun beban hati diungkapkannya, apapun keluh diutarakannya. Guru SD pasti tahu itu, guru SD pasti akan mengakuinya. Dan, guru SD pasti senang terhadapnya.
Mengapa kok menyenangkan?
Siapa coba yang tak bahagia dengan sebuah kejujuran. Saking jujurnya seorang siswa SD, perubahan raut muka mereka akan benar-benar tampak ketika ada kebohongan.
Ya, siswa SD belum pandai berbohong. Mereka jujur. Guru SD pasti semangat mengajar orang-orang yang jujur. Semoga saja perilaku jujur itu terpelihara hingga purna, ya.
Selain itu, siswa SD juga cinta damai.
Siswa SD bukan PENDENDAM layaknya orang dewasa.
Benar bahwa mereka suka berkelahi, saling ejek, dan bahkan saling meremehkan. Tapi, walaupun banyak gejolak di hati kedua siswa, enggak butuh waktu lama bagi mereka untuk berdamai.
Maka dari itulah kukatakan bahwa siswa SD itu cinta damai.
Mereka tak berlama-lama bermusuhan dan saling ribut. Tangisan kesedihan akan segera berganti menjadi ceria dalam hitungan menit.
Orang dewasa bisa seperti itu?
Entahlah. Hati orang dewasa tak bisa ditebak, bahkan oleh guru SD sekalipun. Lain ucap di mulut, lain pula kata di hati.
Kalau orang dewasa sudah menyimpan dendam?
Bahkan sampai mati pun dendam bisa saja terbawa, apalagi ketika hati itu sempit karena sudah penuh diisi kekesalan. Bakal susah! Mereka perlu belajar, perlu berkaca dari anak-anak SD.
Jadi, berbahagialah para guru SD karena telah mengajarkan kejujuran serta bertemu dengan murid-murid yang jujur dan cinta damai.
4. Guru Berasa Awet Muda Karena Dunia SD adalah Masanya Bermain
Awet muda, kok berasa makan bayam, ya?
Hahaha
Bukan, bukan begitu maksudku. Pepaya, bayam, jeruk, alpukat, hingga daging tanpa lemak memang merupakan serangkaian makanan yang mampu membuat diri jadi awet muda.
Tetapi, percuma juga kan, kalau dirinya awet muda namun perasaannya sudah tua?
Hohoho
Sip. Guru SD akhirnya menang di sini. Mengajar siswa-siswi SD sama halnya dengan kita terjun ke dunia mereka. Ya, dunia anak-anak yang penuh dengan aktivitas permainan.
Dulu, sewaktu kita yang masih SD, mungkin kita masih ingat tentang seberapa asyiknya main kelereng bersama, seru-seruan main tepuk gambar, main petak umpet, main sepeda, hingga main bom pakai minyak tanah.
Sekarang?
Keseruan itu lenyap seiring dengan "dijajahnya" kita oleh digitalisasi. Anak-anak mungkin senang, tapi kesenangan itu hanya terbatas pada situasi virtual.
Kenyataannya?
Enggak seseru permainan kita di zaman dulu yang menjunjung tinggi kekompakan, kebersamaan, dan toleransi.
Dulu kalau kita sedang bermain, yang keluar adalah keringat. Kalau sekarang, yang keluar adalah isi dompet. Hemm, padahal nyarinya aja sudah susah, kan.
Tapi, berbeda kisahnya ketika kita melirik suasana di sekolah dasar. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, dunia SD adalah masanya anak-anak untuk bermain.
Tiadalah salah bila kemudian banyak lahir metode pembelajaran yang menyatukan aktivitas belajar dengan bermain. Di dunia SD, kedua kegiatan ini enggak bisa dipisahkan.
Kalau di SD suasananya di-setting sedemikian rupa agar anak-anak fokus belajar, rasanya SD tersebut bakalan tutup. Anak-anak akan pindah ke SD lain yang lebih banyak aktivitas bermainnya.
Begitulah.
Pada dasarnya siswa SD belum bisa lepas dari dunia bermain sepenuhnya. Jangankan anak-anak kelas I, anak kelas VI saja masih sering membujuk gurunya untuk menyelipkan permainan.
5-7 menit bermain di sela-sela pembelajaran, enggak masalah kali ya! Hehehe. Siswa bahagia, guru SD ikut bahagia. Sama-sama meninggikan kesenangan dong? Cihui!
Kalau kita mau sejenak berselancar di dunia internet, sebenarnya banyak sekali jurnal pendidikan yang membahas tentang betapa pentingnya permainan dalam dunia belajarnya anak SD.
Aku ambil saja satu contoh;
Ada permainan yang dinamakan "GoTime: How to Beats ur Time" yang dirilis dalam jurnal Desain Komunikasi Visual Adiwarna.
GoTime adalah permaian papan yang bersifat edukatif bin interaktif untuk anak SD usia 6-8 tahun. sistemnya? Tentu saja bermain dan belajar.
Para siswa yang ikut bermain diminta untuk menyelesaikan urutan kegiatan dengan tepat waktu.
Tujuannya?
Agar generasi penerus bangsa ini bisa menjadi pribadi yang disiplin, bertanggungjawab, serta memiliki kebiasaan manajemen waktu yang baik.
Nah, bersandar pada gagasan tersebut, agaknya tugas berat guru SD dalam mengajarkan literasi dasar kepada siswa sedikit lebih ringan, kan?
Certainly!Â
Kegiatan belajar yang sejatinya menuntut keseriusan sedikit lebih lapang ketika diselingi dengan permainan.
Guru SD pasti akan menjadi lebih bahagia karena dirinya sering terlibat dalam permainan. Semakin bahagia, maka harapan awet muda akan lebih mudah tercapai.
Ini serius loh!
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan di Canadian Medical Assosiation Journal dikatakan bahwa:
"Orang yang menikmati hidup mereka cenderung lebih dapat menjaga fungsi fisik dengan lebih baik daripada mereka yang enggak. Maknanya, orang yang bahagia akan lebih awet muda."
Lebih lanjut, peneliti studi sekaligus Direktur Institu Epidemiologi dan Pelayanan Kesehatan di University College London, Andrew Steptoe menerangkan bahwa kesehatan yang buruk juga berhubungan dengan kadar kebahagiaan.
Orang yang melaporkan penyakit kronis seperti jantung, diabetes, stroke, hingga depresi melaporkan bahwa dirinya kurang menikmati hidup.
Jadi?
Beruntunglah para guru SD. Seenggaknya hidup guru SD semakin senang karena pekerjaan mereka penuh dengan kebahagiaan.
5. Guru SD Enggak Berhadapan dengan Mesin
Bedanya guru SD dengan profesi lainnya adalah, guru SD enggak berhadapan dengan mesin. Guru SD berhadapan dengan para siswa yang imut, unyu-unyu, polos, dan penuh kebahagiaan.
Bukannya aku menjelekkan profesi lain yang berhubungan dengan mesin, ya. Bukan!
Tapi, memang benar bahwasannya ketika seseorang bekerja dengan senantiasa berhadapan dengan mesin, itu cenderung menghadirkan jenuh.
Jenuh bin Membosankan.
Terlebih lagi ketika sang pekerja tadi hanya bekerja sendirian, atau, hanya sedikit rekan kerja yang posisinya juga berjauhan. Susah.
Enggak tersedia ruang ngobrol, enggak tersedia aktivitas lain pengusir jenuh. Masa iya, harus ngobrol dengan mesin. Hemm, monoton, kan?
Sengaja aku rujuk dari Science Daily, disebutkan bahwa pekerjaan yang monoton alias beraktivitas "itu-itu" saja bisa menjadi katalisator penyebab sindrom kelelahan.
Adapun kelelahan yang rawan menghampiri adalah, para pekerja akan mengalami kelelahan emosional, sinisme, hingga kurangnya efektivitas di tempat kerja.
Sekali lagi, aku katakan bahwa, berbahagialah kita karena telah menjadi guru SD. Kita berhadapan bukan dengan mesin, melainkan dengan manusia.
Kita bisa berinteraksi sepuasnya, kita bisa ikut bermain dan menjadi bagian dari mereka, bahkan kita juga bisa sekejap menjadi "anak-anak" demi mendapatkan kebahagiaan yang bertumbuh.
Dan hebatnya lagi, aktivitas guru SD itu enggak monoton.
Enggak sama sekali.
Jangankan mau mengajar. Terkadang, hanya datang dan memijaki rumput lingkungan sekolah saja guru SD sudah hilang rasa bosan dan jenuhnya.
Mengapa bisa begitu?
Mereka sudah bahagia melirik semangat siswa yang pagi-pagi berlarian, bermain, dan bergembira bersama.
Lebih dari itu, di sesi istrirahat pun enggak sedikit guru yang mencari suasana bahagia dengan cara mengajak ngobrol para siswanya.
Bukan topik obrolan yang berat, melainkan hanya berkisar tentang tebak-tebakan, hingga cerita singkat kegiatan siswa sehari-hari.
Dari sana pun guru SD sudah terlampau bahagia.
Aku pula sama. Aku pun merasa demikian, dan, aku bahagia menjadi guru SD. Kupikir, kesenangan ini juga dimiliki oleh seluruh guru di dunia, enggak terbatas pada guru SD saja, melainkan seluruh guru dalam setiap jenjangnya.
Tapi, memang, kesenangan ini akan lahir andai kita bisa membawa diri kali, ya. Soalnya, guru juga merupakan sebuah profesi sehingga selain berbahagia, kita juga perlu berbangga atas profesi tersebut.
Aku kira, pembelajaran anak SD itu gampang-gampang susah.
Aku bilang gampang karena materi ajar untuk siswa sekolah dasar masih berkisar pada materi-materi umum dan sederhana.
Aku bilang susah karena enggak mudah menyampaikan materi dengan bahasa anak SD. Hehehe
Tapi, semua bisa jadi mudah, kok. Yang penting kita nikmati dulu profesi, kemudian jadikan profesi tersebut sebagai pekerjaan bin pengabdian yang menyenangkan.
Caranya? Menggaungkan gaya dan metode mengajar yang asyik dan menyenangkan adalah salah satu jalannya.
Jalan lain pula bisa ditempuh dengan menjadi sosok pengajar yang menginspirasi, yaitu pengajar yang hebat sekaligus bermartabat.
Sudah, ya. Mungkin tulisan ini terlalu panjang.
Salam.
*Pernah tayang di blog pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H