Dia terdampar di sebuah gurun yang berambigu rasa. Di sekelilingnya hanya ada air mata. Di atas kepalanya ada gerombolan awan sendu. Sedangkan hujan sudah siap bergelabah atas dukanya.
Seorang pemuda yang menangisi hujannya sendiri. Begitu penampakan juang dalam berhelai-helai sepinya. Dia bercandala atas harsa. Dia bergumam demi membenci hujan.
Entah mengapa rindu itu seperti kapal tua yang karam. Di atas kapal ada dirinya yang terombang-ambing memegang harap. Berteriak menyanyikan elegi. Lagi-lagi menangis di tengah serayu.
Begitulah.
Ketika pecahan awan berubah menjadi rintik pilu yang menghujam, ketika itu pula dia menangisi hujannya sendiri.
Basahlah sepenggal wajahnya. Bercucurlah sejumput mahligai rindu. Sedangkan dia bergopoh-gopoh merapah menuju nirwana dengan setengah genggam tangan.
Berat rasanya. Lebih mudah bagi diri andai dia menangisi hujannya sendiri. Dia bisa melepas khayal, lalu mengeringkan kebasahan dengan berjemur di langit harsa.
Bukankah setelah hujan akan datang terang?
----
*Pernah tayang di blog pribadi