Dalam ruang kerja di lembaga pendidikan yang bernama "sekolah", kisah sertifikasi sudah menjadi fenomena umum yang nyaris menjadi trending topic di setiap triwulan.
Tidak jauh beda, kisah THR dan gaji ke-13 pula demikian. Di tengah ketidakpastian yang dihadirkan oleh pandemi, stabilitas emosi sebagian PNS jadi terlihat amburadul bersamaan dengan isu pemotongan THR maupun gaji ke-13.
Puncaknya adalah awal Mei 2021 kemarin, yaitu muncul petisi online yang isinya meminta Presiden Jokowi untuk meninjau besaran THR dan gaji ke-13 ASN tahun 2021 sekaligus memasukkan unsur tunjangan kinerja sebagaimana yang sudah diterapkan di tahun 2019.
Petisi online tersebut telah ditandatangani oleh belasan ribu orang dan sempat menghadirkan setumpuk pro-kontra.
Sebagian pihak beranggapan bahwa petisi tersebut adalah cara ASN untuk menuntut hak mereka, sedangkan sebagian yang lain menabur gagas bahwa sesungguhnya para pelayan publik perlu lebih bersyukur di tengah ketidakpastian pandemi.
Pun demikian dengan situasi sekarang ini. Setelah lebaran usai, berbagai beranda media sosial dan grup pendidikan dipenuhi dengan artikel ulasan gaji ke-13.
Ya, bersandar kepada PP No. 63 Tahun 2021, pemerintah sudah memastikan bakal mencairkan gaji ke-13 ASN paling cepat tanggal satu Juni dan disalurkan bersamaan dengan gaji pokok pegawai di bulan Juni.
Adapun besarannya, gaji ke-13 tahun ini bakal dibayarkan sesuai dengan gaji pokok dan tunjangan melekat. Lagi-lagi aturan tersebut dikembalikan lagi kepada PP No. 63 Tahun 2021.
Alhasil, sekarang bisa dibayangkan bagaimana enaknya jadi ASN profesional. Gaji sertifikasi dapat, THR dapat, dan gaji 13 pun tinggal menunggu tanggal peluncuran ke buku rekening. Jadi, sudah semestinya ungkapan syukur bertumpah ruah dilantunkan.
Namun, sejatinya aku tidak begitu tertarik untuk membahas pro-kontra yang tersiar di jagat dunia para pegawai. Soalnya begini; keluhan, omelan, hingga harapan terkait penghasilan seorang pegawai sudah menjadi kisah rutin di setiap akhir bulan, triwulan, hingga seusai lebaran.
Atas fenomena tersebut, tidak jarang lingkungan kerja ASN jadi toksik alias beracun. Sedihnya, racun yang aku maksud tidak pandang bulu hingga menyakiti hati sesama rekan kerja yang masih berstatus honorer maupun kontrak.
Selama nyemplung selama 4 tahun di ruang kerja bersama para pegawai pelaksana kebijakan pemerintah, kerap kali aku miris hati dengan pernyataan seperti berikut:
"Sudah cair ya sertifikasi? Aih, meskipun sertifikasi cair juga, aku belum bisa banyak belanja. Sehari sertifikasi cair, esok harinya sudah bakal habis untuk bayar kontrakan anak, uang kuliah anak. Terkadang menabung saja belum bisa lagi."
Jujur saja, aku selalu kaget sekaligus miris ketika ada PNS yang berkata demikian di ruang kerja. Ada dari mereka yang sudah lama bekerja, syahdan golongannya sudah IV/b. Aku hitung-hitung, tidak kurang Rp20 juta gaji sertifikasi pasti ia terima. Itu di luar gaji pokok lho!
Besar, bukan?
Maka dari itu, mengapa kok yang terucap dari mulut bukannya tentang syukur. Atau, kalau memang banyak kebutuhan keluarga, tidak perlulah rasanya diumbar-umbar di ruang kerja. Terlebih lagi di depan rekan PNS yang belum sertifikasi, guru honorer, dan guru kontrak.
Sebagai seorang pendidik yang pernah mengajar sebagai guru honorer, aku secara pribadi merasa bahwa mendapat gaji di atas Rp500ribu/bulan dari mengajar saja senangnya sudah luar biasa. Terlebih lagi jika sudah PNS, kemudian ikut menikmati THR dan gaji ke-13.
Maka dari itulah, aku terkadang jengkel ketika masa pencairan sertifikasi, THR, dan gaji ke-13 tiba. Seakan-akan momen tersebut menghadirkan banyak toksik saja. Ingin kutegur, tapi mereka sudah senior.
Ya sudah, setidaknya aku tidak memulai perbincangan yang menyakitkan hati sebagian rekan kerja semacam itu. Hemm
Sekilas, curhatan di ruang kerja yang melibatkan gaji sertifikasi, THR, dan gaji-13 terdengar biasa saja. Tapi menurutku, lama-kelamaan keluhan atas ketidakcukupan penghasilan yang sebenarnya bisa dicukupkan bakal makin menyempitkan hati.
Ketika hati sempit, maka pada kelanjutannya seseorang bakal susah memetik esensi dari syukur. Ya, walaupun sebesar apa pun gaji yang ia dapatkan.
Walau begitu, aku sedikit menyoroti pola pikir beberapa pegawai soal gaji yang menurutku cukup keliru.
Sebagaimana kita ketahui, bekerja sebagai PNS itu disenangi oleh banyak orang karena gajinya yang rutin tiap bulan. Pun demikian dengan sertifikasi. Tiap triwulan bakal ada tambahan uang jajan sebanyak 3x gaji. Dari sana, timbul kesan bahwa gaji PNS itu sejatinya sudah dipatok.
Namun, gara-gara gaji yang dipatok, sering kulihat beberapa pegawai yang menjadikan tanggal cairnya gaji pokok dan sertifikasi sebagai alasan untuk membeli barang serta kebutuhan lain yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Akibatnya? Seminggu, dua minggu, bahkan tiga minggu sebenarnya tidak tampak ada akibat apa-apa sih. Tapi, ketika tanggal gajian tiba? Ada-ada saja masalah dan pengeluaran tak terduga sehingga cicilan barang serta hal yang dijanjikan sebelum gajian tidak bisa dibayar.
Ujung-ujungnya? Ya, kalau tidak mengeluh sekaligus mengomel di ruang kerja, si pegawai tadi malu sendiri karena harus menunda janji alias kesepakatan yang telah ia buat. Benar. Lingkungan kerja akhirnya jadi toksik lagi.
Baca juga: Awas, Terkadang Penjilat Menyamar Jadi Malaikat di Ruang Kerja
Secara khusus, aku menganggap bahwa pola pikir yang semacam itu sudah "mendahulukan takdir rezeki"
Maksudnya begini; karena gaji sudah dipatok akan dapat berapa dan cair di tanggal berapa, seorang pegawai dengan entengnya menjanjikan ini dan itu, memesan ini dan itu. Padahal, belum tentu rezeki via gaji di bulan depan bakal ia terima secara utuh. Tidak ada yang pasti, kan?
Begitulah. Persoalan uang memang cukup sensitif. Bahkan, gaji tambahan seperti sertifikasi, THR, hingga gaji-13 pun mampu mendulang toksik di ruang kerja. Dan ternyata, kata syukur yang terkesan ringan untuk diucapkan oleh mulut hakikatnya tidaklah semudah itu.
Apapun profesi kita, serta berapapun gaji yang didapat dari sana, tetap saja ada manajemen syukur yang perlu dikelola. Rasanya tidak semua permasalahan finansial perlu kita hadirkan di ruang kerja.
Memang, pembahasannya cukup menarik. Tapi, kalau sudah kebanyakan keluh dan sedikit bersyukur, aku rasa hal tersebut sudah masuk area toksik.
Terang saja, ada orang dengan gaji tidak seberapa, namun yang tidak seberapa itu sudah mencukupi kehidupannya. Dan, ada pula orang di luar saja yang memiliki gaji tinggi, tetapi gaji tinggi tersebut segera ludes gegara kebutuhan pokoknya yang banyak.
Alhasil, titik temunya di sini bukanlah soal besar maupun kecilnya gaji bin penghasilan melainkan bagaimana seseorang bisa lebih bersyukur seraya merasa cukup atas rezeki yang ia dapatkan.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H