Ada proses pembinaan I, pembinaan II, hingga pembinaan III yang melibatkan pihak sekolah, siswa, hingga orang tua siswa. Mengapa kegiatan pembinaan tidak cukup sekali? Karena proses belajar alias perubahan tingkah laku tidak bakal selesai dalam sekali bina.
Perubahan afektif siswa membutuhkan waktu, dan pihak sekolah punya tanggung jawab terutama untuk mengamati siswa yang bermasalah.
Apakah mereka sudah jera dengan perbuatannya, apakah mereka sudah mulai keluar dari lingkungan negatif yang memengaruhinya, serta apakah siswa sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa ia bertaubat.
Pun demikian halnya dengan kasus ujaran kebencian yang dilakukan oleh siswi SMA di Bengkulu Tengah ini.
Di beranda Twitter, ramai netizen membandingkan kasus siswi SMA dikeluarkan dari sekolah dengan kasus pemudik yang memaki polisi beberapa hari yang lalu.
Ada perbedaan mencolok terkait hukuman yang diberikan kepada dua kasus ini. Kasus siswi SMA berakhir dengan dikeluarkannya ia dari sekolah, sedangkan kasus pemudik selesai dengan permintaan maaf di atas meterai 10.000.
Jika kita lirik lebih serius, dua kasus ini terjadi pertama kali baik bagi siswi SMA dan pemudik pemaki polisi tadi, bukan? Maka dari itulah perlu dihadirkan pembinaan secara intensif. Lucunya, kasus pemudik tadi malah selesai dengan meterai seharga 10.000 rupiah.
Jika begitu kisahnya, bukankah kasus siswi SMA yang menebar ujaran kebencian terhadap Palestina juga bisa diselesaikan cukup dengan minta maaf dan tanda tangan di atas meterai?
Nah. Rasanya terlampau tega jika siswi tersebut harus dikeluarkan dari sekolah tanpa pembinaan. Semestinya ada ruang bagi seorang pelajar untuk mediasi, sebelum pilihan dikeluarkan dari sekolah diketok palu.
Jika kita melirik Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif, maka yang dikedepankan dalam poin SE tersebut adalah restorative justice. Sedangkan pidana adalah opsi terakhir.
Benar. Siswi SMA yang menebar hina terhadap Palestina tadi memang tidak kena pidana, namun bukankah ia sejatinya telah "dipidana" oleh sekolah berupa dikeluarkan? Lagi-lagi kita kembali kepada konteks sekolah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran.
Biasanya, terkait dengan kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan pelajar, KPAI menjadi pihak yang paling serius untuk berkoar. Pun demikian dengan Mas Mendikbudristek.