"Empat tahun sudah berlalu semenjak hari itu, dan sekarang lagi-lagi aku belum bisa mengunjungi kalian."
Waktu itu, aku masih ingat betul dengan keseruan kita. Abang belum lama memijakkan kaki di tanah rantau, namun kesepian yang biasanya hadir akibat tantangan sosialisasi di tempat baru mampu terusir lebih cepat.
Padahal Abang sejatinya pendiam lho, serius!
Lihat saja beberapa hari sejak kedatangan Abang di sana. Abang lebih banyak diam, lebih banyak mendengarkan, namun lidah ini terpontang-panting untuk memulai pembicaraan baru.
Walau begitu, Abang tidak perlu topik dan tema yang berat untuk bercengkramah dengan kalian, wahai adik-adik sepupuku.
Hadirnya kalian mampu menepis segunung rasa bosan atas masa tungguku. Ya, bagaimana tidak bosan, menunggu di tanah rantau tanpa ada pekerjaan hingga tiga bulan membuatku ambyar, pikiran buyar, bahkan tubuh ini jadi menggelenyar.
Waktu itu, kita banyak bercerita.
Di tengah panasnya udara kota industri, Abang tetap merasa hangat karena mampu melempar banyak canda. Rasanya tiada lirik pandang yang lebih indah selain senyum-senyum riang para pemilik wajah ketulusan yang belum berdosa.
Abang menyadari, senyum itu benar-benar tulus dan tidak sedikit pun tercampur dengan prasangka. Dan di sisi yang sama, Abang pula menyadari bahwa sejatinya diri ini lebih cocok dengan lingkungan yang ramai dengan anak-anak.
Tapi...
Ternyata Abang sengaja meninggalkan keramaian syahdan mencoba lebih akrab dengan mesin, pulp, dan paper yang ada di pabrik.
Wahai Adik, ternyata kisah di sana benar-benar berbeda dengan kita. Seketika memasuki ruangan pabrik, segenap cerita yang hadir di telinga Abang hanyalah tentang uang, jabatan, lembur, naik pangkat, hingga masa depan.