Tidak hanya terkait dengan pakaian untuk tampil "wah" di hari raya, semenjak aku mulai mengajar sebagai guru honorer di kotaku, aku juga mulai sering jajan kue lebaran siap saji. Ya, Ibuku sibuk dan tidak sempat memasak terlalu banyak kue.
Hanya saja, seiring berlalunya waktu, aku mulai merasa bahwa baju baru di hari raya serta kue lebaran  yang beragam jenis dan rasa itu tidaklah terlalu penting. Bahkan, kedua hal tersebut bukanlah esensi dari hari raya. Hemm.
Dulu Aku Terobsesi Beli Baju Baru, tapi Sekarang Lebih Tertarik Menabung untuk Sewa "Tenda Biru"
Hadirnya pandemi Covid-19 telah menjadi pelajaran besar bagiku, terutama dari sisi menekan gaya hidup "semau gue" dan taklid dengan teman-teman. Ya, wabah jahat ini seakan memaksa orang-orang seumuranku untuk lebih jauh memandang ke depan, khususnya dari aspek finansial.
Dan Alhamdulillah, dalam kurun waktu dua tahun terakhir aku sudah merasa lebih mampu untuk menekan hasrat belanjaku yang dulunya tidak keruan.
Dengan seringnya melihat beberapa organisasi menggaungkan kegiatan donasi baju layak pakai, berbagi makanan, hingga sembako, perlahan aku mulai melek diri seraya makin semangat untuk hidup sederhana.
Ya, saat kubuka lemari pakaian, aku kadang merasa ambyar sekaligus takut. Untuk apa baju sebanyak ini, dan semuanya masih bagus-bagus namun jarang dipakai. Bagaimana nanti bila semuanya dihisab?
Jangankan di akhirat, ditanya sekarang saja aku sudah kebingungan menjawab kegunaan dari jajan berlebihan tersebut. Hemm.
Tidak jauh berbeda, persoalan kue hari raya pula demikian. Kami keluarga tani, dan Alhamdulillah banyak kebutuhan cemilan hari raya yang sebenarnya tidak perlu dibeli.
Mau bikin keripik singkong, singkongnya tinggal kita cabut dari batang.