Beberapa kali gelaran webinar yang menyertakan Mas Nadiem berisikan presentasi tentang dampak negatif PJJ yang berakibat kepada kebosanan siswa, menurunnya derajat efektivitas belajar, hingga peningkatan angka putus sekolah.
Rasanya fenomena ini cukup unik, bukan?
Terang saja, Mas Nadiem yang memiliki program unggulan digitalisasi pendidikan pada akhirnya malah menyajikan dampak negatif jika sekolah tatap muka tidak segera digelar tanpa menyajikan dampak positif dari PJJ itu sendiri.
Agaknya hal tersebut merupakan buah dari kekagetan kita atas pandemi covid-19. Kehadiran wabah jahat ini semakin menyadarkan kita bahwa pendidikan itu sejatinya tidak harus di sekolah, tapi di sisi yang sama, pembelajaran tatap muka merupakan sesuatu yang tidak tergantikan.
Artinya, baik pembelajaran daring keduanya sama-sama penting, bukan? Belajar daring dianggap penting ketika kita mengacu pada program digitalisasi pendidikan, peningkatan kompetensi digital guru, serta keamanan anak-anak dari sisi kesehatan.
Tetapi bersama itu pula semua pihak menyadari bahwa pembelajaran tatap muka memiliki peran krusial dalam mendulang efektivitas pembelajaran.
Syahdan, mungkinkah keinginan Mas Nadiem yang buru-buru ingin menggelar pembelajaran tatap muka bertolak belakang dengan program unggulan digitalisasi pendidikan ala Kemendikbudristek sebagaimana yang digaungkan oleh Pak Pengamat Pendidikan tadi?
Rasanya tidak, ya, dan saya selaku "orang lapangan" sekaligus pelaksana kebijakan pendidikan di sekolah sedikit ingin menyanggah anggapan tersebut.
Hemat saya, keinginan pemerintah untuk segera menggelar pembelajaran tatap muka tidak bertentangan dengan program digitalisasi pendidikan ala Mas Nadiem. Bahkan, rasanya cukup aneh bagi kita jikalau pembelajaran berbasis digitalisasi pendidikan itu harus daring selamanya.
Bagaimana tidak aneh, hadirnya suatu program sejatinya dihadirkan untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan. Sebagaimana banyak jalan menuju Mekkah, maka juga banyak jalan bagi kita untuk mencapai tujuan pendidikan.