Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Aku Belum Pernah Bayar Zakat Fitrah Secara Online, Kami Masih Bergaya Konvensional

6 Mei 2021   22:18 Diperbarui: 6 Mei 2021   22:29 1653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku Belum Pernah Bayar Zakat Secara Online. Diolah dari Canva

Maklum. Aku orang desa, tinggal di desa, mengajar di dusun, serta sering keliling dari desa satu ke desa yang lainnya.

Ketika orang di luar sana sudah akrab dengan berbagai aplikasi dan platform digital, beberapa temanku malah berlomba-lomba mendirikan konter pulsa. Padahal, jikalau dipikir-pikir, rasanya jualan pulsa maupun token listrik dengan mendirikan konter sudah kurang menjanjikan.

Tapi karena kisah ini di desa, maka gaya konvensional masih terus menemui eksistensinya. Bahkan kemarin, aku dihampiri oleh beberapa orang murid SD seraya mengajakku berdialog tentang zakat fitrah.

"Pak, berapa canting kita bayar zakat fitrah ke masjid, Pak?"

"Ooo, kalian tidak bayar pakai uang ya. Berarti pakai beras?"

"Iya, Pak. Kata Emakku kami bayar dengan beras Pak."

"Nah, timbang saja berasnya 2,5 Kg, atau kalian hitung hingga 10 canting."

Di desa tempat tinggalku sebenarnya masih sedikit lebih maju jikalau dilirik dari kemudahan akses internet. Tapi di desa tempatku mengajar? Aih, rasa-rasanya membawa Smartphone ke SD nyaris tak ada gunanya bagi kami para guru. Apalagi mau bayar zakat online?

Ketika para penikmat dunia digital sudah sibuk melirik aplikasi seperti situs baznas, kitabisa, hingga beragam platform marketplace, sebagian besar warga di sini masih sibuk mendengar toa masjid sembari mencatat berapa bilangan rupiah yang diperlukan untuk bayar zakat fitrah/jiwa.

Ya, memang tidak terpungkiri bahwasannya kehadiran berbagai platform penyalur zakat online telah memudahkan kita selaku muzakki untuk menunaikan kewajiban. Toh, zakat secara online terutama zakat fitrah tetap diperbolehkan selama tidak kurang syarat dan rukunnya.

Ketika ada niat, ada muzakki, ada mustahiq, dan ada harta yang dizakatkan, maka tercukuplah rukunnya. Sedangkan aplikasi, situs, blog, maupun platform digital adalah media alias perantaranya.

Rukun Zakat Fitrah. Diolah dari Canva
Rukun Zakat Fitrah. Diolah dari Canva

Hanya saja, sangat penting bagi kita umat muslim untuk memilih platform zakat online yang terpercaya. Ya, hukum ditunaikannya zakat fitrah adalah wajib bagi kita yang berkecukupan, sedangkan zakat harta juga wajib ketika harta sudah mencapai nisab maupun haulnya.

Syahdan, terpercaya di sini pula bukan hanya bersandar pada banyaknya foto-foto testimoni, melainkan juga disertai dengan adanya bukti izin PUB (Pengumpulan Uang dan Barang) dari Kementerian Sosial.

Mengapa hal ini sangat penting? Ialah tidak lain karena zakat itu adalah kewajiban. Konsekuensi wajib adalah berdosa jikalau tidak dikerjakan.

Dengan demikian, kita sedari awal harus memastikan bahwa zakat yang diberi itu sampai dan benar-benar disalurkan kepada mustahiq (mereka yang berhak menerima) zakat.

8 Golongan Penerima Zakat. Diolah dari Canva
8 Golongan Penerima Zakat. Diolah dari Canva

Oleh karena itu, sungguh bukan masalah jikalau aku membayar zakat fitrah secara langsung kepada mustahiq, sedangkan kamu membayar zakat via lembaga penerima zakat online. Yang penting amanah tersebut sampai dan tidak menyusahkan kita.

Daripada Menerapkan Zakat maupun Donasi Sistem Online, Masih Lebih Efektif Bagi Kami Menerapkan Sistem Kunjung

Berdasarkan faktor kepentingan, sungguh lebih mudah bagiku maupun segenap warga desa di daerah kami untuk membayar zakat fitrah dengan gaya konvensional. Ya, ada tiga sistem.

Pertama, kita membayar zakat fitrah serta langsung menyampaikannya kepada para mustahiq. Kedua, kita membayar zakat dan menyerahkan amanah pendistribusian zakat kepada pihak masjid.

Atau cara ketiga, kita bersama instansi atau lembaga bersama-sama mengumpulkan zakat fitrah sekaligus menyalurkannya kepada para mustahiq yang sudah terdata.

Zakat fitrah yang siap kami salurkan melalui organisasi Guru. Dok. Jarnilawati
Zakat fitrah yang siap kami salurkan melalui organisasi Guru. Dok. Jarnilawati

Benar, hadirnya sistem bayar zakat fitrah secara online telah memberi kemudahan sehingga dalam beberapa menit saja kita bisa segera menunaikannya.

Tidak perlu keluar keringat, tidak perlu keluar rumah, tidak perlu menimbang beras melainkan cukup bayar via Smartphone sembari rebahan.

Tapi, aku sendiri belum pernah mencobanya, dan mungkin hingga saat ini aku belum begitu membutuhkannya, terlebih lagi untuk zakat fitrah.

Terang saja, bersandar pada beberapa riwayat dari hadis Rasul, utamanya zakat itu disalurkan kepada orang-orang terdekat di daerah sendiri terlebih dahulu.

Rasulullah SAW pernah mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, Rasulullah berkata kepadanya, "Jika mereka taat kepadaku, maka ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah SWT mewajibkan zakat kepada mereka dalam harta mereka. Diambil dari orang-orang yang mampu di antara mereka dan diserahkan kepada orang-orang yang fakir di antara mereka".

Maka dari itulah para pengurus masjid di desa kami masih menggunakan gaya konvensional dengan berjalan kaki dari rumah ke rumah untuk menyalurkan zakat fitrah. Sekarang jadi lebih mudah dengan kendaraan berupa mobil gerobak.

Hatta, bagaimana dengan donasi?

Ilustrasi donasi online. Diolah dari Canva
Ilustrasi donasi online. Diolah dari Canva

Sudah memasuki tahun kelima, aku bersama teman-teman alumni rutin menggelar donasi untuk kemudian disalurkan kepada kaum dhuafa.

Sebagai pihak penyelenggara, penyalur, sekaligus penanggungjawab, aku bersama beberapa pengurus biasanya mengumumkan agenda kegiatan via media sosial, namun masih menerapkan sistem kunjung dari pintu ke pintu untuk menjemput donasi.

Mengapa hal tersebut kami lakukan? Soalnya keaktifan rekan-rekan seperjuangan di media sosial semacam FB maupun grup WA intensitasnya sangat rendah.

Bahkan, sampai saat ini masih diikuti dengan tingkat kepercayaan yang juga rendah, meskipun kami selaku alumni sudah memiliki struktrur organisasi yang sah.

Beda kisahnya ketika kami datang mengunjungi teman dari rumah ke rumah.

Dengan bertamu, percakapan cenderung lebih terbuka, dan rasa penasaran calon donatur langsung terjawab karena mereka bakal bertanya tentang bagaimana sistem penyaluran, siapa yang bertanggungjawab, serta siapa-siapa saja sasaran donasi.

Tahun demi tahun silih berganti, gaya konvensional berupa kegiatan jemput donasi ini masih kami lakukan karena dari sanalah kepercayaan sekaligus jumlah donasinya meningkat.

Kegiatan kami menyalurkan donasi untuk kaum dhuafa sembari berbuka bersama. Banyak teman-teman yang ikhlas membantu antar-jemput anak-anak. Dok. Yudi
Kegiatan kami menyalurkan donasi untuk kaum dhuafa sembari berbuka bersama. Banyak teman-teman yang ikhlas membantu antar-jemput anak-anak. Dok. Yudi

Lebih dari itu, pada puncak kegiatan donasi, tidak sedikit dari rekan kami yang ikut menyumbangkan tenaga untuk menyalurkan donasi, serta meminjamkan kendaraan untuk kemudahan distribusi.

Pakai ongkos? O, jelas tidak. Bahkan tidak pernah terbesit di alam pikir kami untuk menganggarkannya.

Maka dari itulah, sampai saat ini kami masih beranggapan bahwa membayar zakat dan berdonasi ala konvensional masih lebih efektif dibandingkan membayarnya via online.

Bukan semata-mata betah dengan gaya konvensional, sejatinya gaya lama ini membuka peluang pahala yang lebih besar terutama dari sisi tenaga dan kepedulian untuk sama-sama membantu dengan apa yang diri ini punya.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun