"Sadar atau tidak, keinginan yang kurang terkontrol selama bulan Ramadan bakal membuat jala penghasilan dan keuangan kita berguncang kuat. Bahkan, segenap isi dompet bisa bobol lebih cepat. Padahal (mungkin) belum sempat sedekah loh!"
Ini serius! Aku sempat mengalaminya terutama pada Ramadan 2-3 tahun ke belakang, tepatnya pada periode 2017, 2018, dan 2019.
Pada Ramadan tahun 2017, penghasilanku sebagai karyawan kontraktor di PT cukup besar. Kami bekerja dengan sistem borongan dan aku pula sering lembur demi menambah pundi-pundi rupiah. Alhasil, gaji minimal 3 juta kukantongi.
Lumayan, bukan?
Hanya saja, pundi uang yang lumayan besar bagiku itu samar-samar ke mana larinya. Perasaan pada awal-awal gajian tabunganku masih penuh, tapi ketika tanggal 15-20 pada bulan Ramadan tiba, rekeningku jadi keriting dan aku jadi berhemat luar biasa.
Hemm, gegara hal tersebut, tiba saat detik-detik terakhir uangku habis, aku kian menyadari betapa pentingnya mencatat kebutuhan secara detail.
Semenjak bulan Ramadan tiba, perilaku belanjaku jadi kurang terkontrol. Termasuklah ketika aku sudah menjadi guru honorer setelah kembali ke kampung halamanku. Semakin sering ngabuburit, semakin sering berjalan-jalan sore, semakin cepat pula uangku menipis.
Bagaimana tidak, pandangan di sekeliling jalan penuh dengan godaan. Ada kurma, ada bakso bakar, ada ayam geprek, ada es campur, gorengan, hingga menu penggugah lainnya. Rugi jikalau hanya dipandang saja, mubazir kalau tidak segera dijadikan menu berbuka puasa.
Padahal tidak ada salahnya, bukan?
Tapi kalau sudah keseringan, rasanya tidak bijaksana deh. Aku pula merasakan hal tersebut, ialah ketika wajah ibuku mengernyut walaupun kubawakan segenap menu berbuka puasa dari pasar.
Antara Kebutuhan dan Keinginan, Tidak Jauh Beda dengan Kita Mengelola Cinta dan Benci
Ketika Ramadan tiba, kebutuhan meningkat. Benar. Meskipun aturan pokok makan berubah menjadi 2x sehari (sahur dan berbuka), namun embel-embel jajan bin cemilan sekali beli terkadang lebih mahal daripada jatah makan dua hari dalam waktu normal (sebelum puasa).
Bukankah kalau sesekali, tak mengapa? Iya, sih. Tapi kalau kita jadi Emak, maka kata sesekali tersebut sudah dipikir berpuluh kali oleh Emak. Dalam artian, besok dan lusa mau berbuka puasa dengan menu apa, cukup atau malah kurang uangnya.
Alhasil, jika ditanya tentang siapa yang cenderung lebih bijaksana mengelola kebutuhan dan keinginan, maka jawabannya adalah Emak.
Emak walaupun hanya sosok perempuan tamatan SD dengan jeniusnya memisahkan keinginan, menekankan keinginan serta mendahulukan kebutuhan.
Jikalau kita lirik sedikit lebih jauh ke masa kecil, maka kita pasti bakal akan sangat paham mengapa kita tidak bisa selalu makan enak bin mewah selama bulan Ramadan.
Alasannya tidak lain ialah karena Emak sudah menyisihkan sedikit demi sedikit uang agar kita bisa beli baju baru. Walaupun hanya satu setel, setidaknya kita beli. Sedangkan Emak, tidak membeli baju baru hingga berapa kali lebaran, sungguh hal tersebut tak menjadi masalah.
Sadar atau tidak, ternyata saat itu Emak juga sedang mengelola rasa cinta dan benci secara bijaksana.
Emak mungkin cenderung dibenci oleh tuntunan anak yang "ingin ini ingin itu banyak sekali", padahal Ramadan hanya 30 hari. Tapi di saat itu juga, Emak sedang menabung benih-benih cinta seraya mengelola keuangan agar tidak bobrok sebelum Ramadan berakhir.
Naik Penghasilan Naik Sedekah
Ketika tadi kita merilik perjuangan para Emak dalam mengelola kebutuhan dan keinginan, sejatinya ketika itu pula kita bisa sadar bahwa sejatinya Emak sedang berlatih bersedekah, terutama sedekah untuk anak-anaknya.
Benar. Sedekah tidak akan membuat kita miskin karena sejatinya Allah memberikan hamba-Nya kecukupan, bukan kemiskinan. Jikalau dirimu masih ragu bahwa sedekah itu tidak akan membuat kaya, silakan simak dalil berikut secara seksama. Dibaca kata demi kata:
Jikalau firman Allah di atas masih kurang cukup, kita bisa melirik kisah Usman bin Affan yang menyumbangkan seluruh kekayaannya demi membantu para penduduk Madinah yang diserang paceklik pangan.
Syahdan, yang lebih MasyaAllah lagi ialah kisah suami istri yang meminta kekayaan kepada Allah melalui perantara doa Nabi Musa as, namun gara-gara bersedekah, suami istri tadi tidak berhenti kaya. Allah hadirkan segenap rezeki dari berbagai penjuru mata angin.
Apakah kita tidak mau seperti itu? Jika selama ini mindset yang tertanam dalam diri adalah hidup cukup dan sederhana, ada baiknya kita ubah menjadi mindset kaya.
Maksudku kalau kita makin kaya, kita bisa lebih banyak bersedekah serta bisa membantu lebih banyak orang. Hanya saja, ada hal penting yang perlu kita perhatikan dalam bersedekah yaitu:
Ikhlas dalam bersedekah
Tulus bukan modus, begitulah rumus utama bersedekah. Akan berbeda derajat sedekah jikalau seorang hamba salah niat dan salah harap.
Rumus ikhlas bersedekah itu begini:
Alhasil, tip keuangan terbaik menurutku adalah dengan memperbanyak bersedekah. Terutama pada bulan Ramadan.
Barangkali beberapa dari kita banyak yang mencoba menambah uang jajan dengan berjualan takjil, berjualan kue lebaran, pernak-pernik Ramadan, hingga bersiap menerima THR. Agar tidak ludes serta maka tetapkan berapa persennya untuk bersedekah.
Sejatinya sedekah tidak menunggu kaya, juga tidak menunggu sempat. Sedekah itu disempatkan, dan sangat baik jika didahulukan. O ya, sedekah juga sebenarnya tak perlu jauh-jauh. Sedekahkan terlebih dahulu keluarga dan saudara dekat kita yang membutuhkan.
Naik Impian Jangan Segan Investasi Logam Mulia
Benar. Sekarang bulan Ramadan, tapi, please, kita jangan lupa dengan impian. Kuyakin baik dirimu dan diriku punya impian baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Bahkan, setiap bertambah hari bisa jadi impian kita semakin naik, kan? Makin banyak malah, hahaha.
Terkadang, ada impian yang bisa didapat tanpa memerlukan banyak uang, tapi kebanyakan dari impian tersebut butuh banyak cuan, kan?
Maka darinya, setelah bersedekah, akan sangat bijak bila kita tetap berusaha untuk mempercepat proses pengabulan impian. Caranya? Tidak lain ialah dengan menabung secara rutin.
Menabung itu sedikit demi sedikit jadi bukit. Sedangkan kalau sedekah itu; sedikit demi sedikit jadi banyak tapi jangan diungkit. Harap dibedakan, ya.
Nah, sekarang, pertanyaannya adalah: Masih sempatkah kita menabung saat bulan Ramadan? Masih sempatkah kita menyisihkan cuan ketika hadirnya es ketan durian begitu menggoda tiap sore?
Sejujurnya, tidak akan ada kata sempat kalau tidak kita yang menyempatkan. Demi menjaga stabilitas isi dompet, kita tetap perlu menabung, meski sedang di bulan puasa sekali pun.
Menabung untuk impian jangka pendek bisa kita perjuangkan dengan menyisihkan uang, sedangkan menabung untuk impian jangka panjang sebaiknya kita emaskan uang. Ya, tidak perlu segan untuk berinvestasi logam mulia.
Sebagaimana perjuangan para kakek dan nenek kita dulu, emas merupakan produk investasi yang sangat efektif dan kebal terhadap inflasi. Contoh sederhananya adalah: para orangtua seumuran nenekku dulu banyak yang lebih memilih untuk meminjami emas daripada uang.
Alasannya, nilai emas akan bertambah jika kita uangkan emas itu pada beberapa tahun kemudian. Sedangkan nilai uang malah berkurang. Dan ternyata! Orang-orang yang belum kenal sama Dek Google sudah lebih dulu melek emas daripada sebagian kita. Hahaha
Secara lebih detail, Rulli Kusnandar dalam buku Berkebun Emas menerangkan bahwa statistik berabad-abad menunjukkan adanya korelasi nyata antara harga emas dan harga komoditas manusia. Maka dari itulah si kuning logam mulia ini dijuluki zero inflation.
Karena produk investasi yang satu ini bersifat aset lindung nilai dan berada di luar sistem perbankan, maka menabung emas adalah jalan yang efektif untuk menggapai impian jangka panjang.
Alhasil, jangan segan emaskan sebagian uang agar impian masa depan lebih cepat terdongkrak. Meskipun bulan Ramadan? Certainly. Lha, daripada THR lenyap begitu saja tanpa sisa, kan?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H