“Terutama bagi pengurus masjid!”
Benar. Menurutku begitu, bahwa para pengurus masjidlah yang paling merindukan suasana rusuh, riuh, bahkan ributnya anak-anak ketika hadir meramaikan masjid/musala pada bulan Ramadan.
Soalnya, aku dulu juga sempat menjadi marbot sekaligus pengurus masjid baru. Ya, masjid yang dulunya masih berstatus musala, dan musala tersebut sempat mandek beroperasi karena tidak ada yang urus.
Sound system-nya menghasilkan nada “ngiing” yang berasa memecahkan gendang telinga, belum lagi dengan suasana sekeliling masjid yang tidak jauh beda dengan kapal pecah.
Wajar sih. Masjid tersebut adalah milik sekolah, dan sekolah tidak memiliki pengurus masjid. Mungkin ada, tapi hanya sebagai formalitas saja.
Ketika aku datang dan mulai menjadi penanggungjawab, kubentuklah pengurus RISMA (Remaja Islam Masjid) dengan motto ikhlas dan pejuang berkah. Alhamdulillah! Pelan-pelan, kehadiran jamaah makin ramai.
Meski begitu, adakalanya masjid benar-benar sepi. Aku yang azan, aku yang iqamah, bahkan aku pula yang jadi imam. Merangkap semua.
Bukannya seru, aku malah sedih. Dan kurasa kesedihan ini pasti menghampiri segenap pengurus yang masjidnya sepi, atau bahkan kosong sama sekali.
Dalam konteks yang lebih luas namun khusus, pada bulan Ramadan juga begitu. Perbedaan mencolok antara Ramadan beberapa tahun ini dengan Ramadan belasan tahun yang lalu adalah kuantitas kehadiran anak-anak yang mulai menurun.
Dan ketika anak-anak itu datang, mereka malah dimarah-marah, kan? Ada yang sampai menangis malahan, gara-gara terlampau riang. Hahaha. Sedangkan di sisi yang sama, ketika anak-anak tadi tidak lagi hadir, eh, para pengurus masjid malah rindu dengan mereka.
Para pengurus masjid rindu dengan ulah usil anak-anak, karena gegara keusilan tersebutlah masjid bisa penuh, ceramah Ramadan jadi seru, dan ujian sabar menjadi drama penuh haru. Ahay!
Syahdan, apa saja keusilan anak-anak pada bulan Ramadan yang sekarang dirindukan? Okeh, simak tulisannya, ya:
1. Anak-Anak Tidak Berani Jadi Muazin, tapi Malah Berebutan untuk Iqamah