Minimal 8 jam waktu mereka habis di pabrik. Belum lagi capeknya, lemburnya, jenuhnya, sesak napasnya gegara udara kotor. Kompleksnya situasi sudah cukup untuk menjadi alasan bahwa karyawan belum memerlukan pekerjaan sampingan. Tepatnya, tidak sempat.
Berbeda halnya dengan guru. Tanpa kita perlu memandang status PNS, honorer, maupun kontrak, sejatinya waktu mengajar guru tidaklah lama.
Terlebih lagi ketika sang guru mengajar di sekolah negeri. Jam 07.00 masuk, jam 12.30-14.00 sudah pulang. Okelah, maksimal jam 16.00. Itu pun kalau di sekolah swasta dengan sistem 5 hari kerja.
Masih banyak waktu sisa, bukan?
Dari waktu-waktu sisa itulah biasanya banyak tamu agung bernama kebosanan yang datang. Alhasil, untuk mengusir kebosanan, seorang guru bakal mencari aktivitas lain seperti berkebun dan berjualan.
Iya, benar. Tidak semua guru seperti itu. Ada pula sebagian guru yang full time teacher. Pagi dia di sekolah, siangnya dia buka bimbel, sorenya ia jadi guru private, bahkan merangkap guru ngaji.
Aku dulunya juga begitu. Tapi, terkadang hal tersebut cukup melelahkan dan sesekali cukup membosankan. Jadi, kupilih saja pekerjaan sampingan selain mengajar.
Pekerjaan Sampingan Guru Dihadirkan untuk Mengusir Jenuh
Lagi-lagi benar bahwa pekerjaan guru itu menyenangkan. Setiap hari kita bisa bercanda dengan siswa, melempar humor di ruang kerja, hingga masak-masak di sekolah. Nikmat sekali menjadi seorang guru.
Aku pula begitu. Sepanjang mengajar di SMP, setiap hari kecuali Senin dan Kamis aku selalu diminta memasak nasi. Waktu itu aku juga ditunjuk sebagai staf perpustakaan dan beberapa guru senior yang ruang kerjanya di sana sering bergantian bawa lauk-pauk.
Alhasil, dompetku cenderung terlindungi. Senin dan Kamis kami berpuasa, dan pada hari sisanya kami makan enak. Ahai!