Sebagaimana yang diterangkan oleh Kompasianer Mr. Taura, idealnya profesi guru itu tidak boleh menyambi hal lain. Soalnya, guru adalah garda terdepan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, sebagai guru, aku sendiri malah tidak betah jikalau tidak nyambi.
Benar. Lihat saja di sekeliling kita. Kebanyakan guru di negeri ini pasti punya pekerjaan sampingan.
Entah itu bertani, berjualan online, membuka warung tradisional, hingga ikut berkontribusi dalam meramaikan kantin sekolah, salah satunya menjadi profesi sambilan yang tak bisa lepas dari guru.
Kebanyakan kegiatan para pendidik yang kutemui adalah berjualan. Entah itu guru PNS, honorer maupun swasta, semua tidak ada bedanya. Bahkan, salah satu guru PNS yang sudah sertifikasi di sekolahku masih konsisten mengisi jajan kantin, tepatnya sebelum pandemi.
Mengapa kok begitu, mungkinkah penghasilan mereka kurang?
Jikalau kita berkisah tentang kurang dan lebih, otomatis kisah tersebut tidak akan lepas dari segala profesi. Allah berikan hamba-Nya kecukupan, tapi seorang hamba dengan nafsunya seringkali tidak merasakan cukup. Kurang, kurang, dan kurang terus.
Syahdan, mengapa kok guru yang penghasilannya sudah lumayan masih ikut-ikutan bekerja sampingan? Setidaknya, ada beberapa alasan umum yang bisa kita cermati, antara lain:
Tidak Semua Guru Senang Gajinya Dipatok
Sampai saat ini, masih banyak orang yang mendambakan profesi guru karena penghasilannya yang rutin. Seperti contoh, guru PNS, PPPK dan guru di sekolah swasta. Gaji mereka dibayar tiap bulan, jarang telat, dan boleh dibilang lumayan.
Guru PNS golongan III/a misalnya:
Menurut (PP) Nomor 15 Tahun 2019, saban bulan gaji pokok guru PNS golongan III/a yang baru senilai Rp2.579.400. Jikalau sang guru sudah sertifikasi, maka tinggal kita tambahkan penghasilan 3x gaji yang diterima setiap triwulan.