"85% negara di Asia Timur dan Pasifik telah melakukan pembelajaran tatap muka secara penuh. Berdasarkan kajian UNICEF, pemimpin dunia diimbau agar berupaya semaksimal mungkin agar sekolah tetap buka atau memprioritaskan agar sekolah yang masih tutup dapat dibuka kembali," ungkap Mendikbud sebagaimana yang dikutip dari laman Kemdikbud.
Hadirnya SKB Empat Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 yang dirilis pada akhir Maret kemarin (30/3/2021) seakan jadi penegas bahwa negeri ini sedang rindu menggelar pembelajaran tatap muka.
Rindu bukan sembarang rindu karena kenyataannya eksistensi wajah pendidikan kita makin senjang, makin timpang, serta makin tidak keruan sebagai imbas dari pembelajaran daring yang tidak maksimal.
Sejatinya bagaimana mau maksimal kalau dari segi akses layanan pendidikannya sendiri masih belum merata.
Jaringan internet lemot, dompet Emak bobrok gegara beli kuota, hingga segenap siswa yang rela mencari tebing tinggi demi mendapatkan akses sinyal internet semestinya menjadi tamparan bagi Mas Mendikbud.
Semakin ke sini, kita perlu semakin menyadari bahwa pembelajaran daring tidak sepenuhnya mampu untuk dijadikan biang harapan peningkatan kualitas pendidikan dan pembelajaran.
Dulu Pembelajaran Daring Dielu-elukan
Awal kehadiran pandemi corona, pembelajaran daring terkesan begitu dielu-elukan. Berbagai aplikasi dan platform belajar online mulai dari GCR, Zoom, Webex, Quiz, Ruangguru, Rumah Belajar hingga sederet LMS lainnya disambut secara meriah.
Sudah tak terhitung lagi ada berapa banyak jenis pelatihan pembelajaran daring demi meningkatkan kualitas guru dari segi penggunaan teknologi.
Kalimat teknologi adalah "jalan akselerasi kualitas pendidikan" terus bergaungan, sedangkan para guru yang sudah memasuki usia senior mulai terlihat kesulitan beradaptasi.
Ya, jangan salahkan mereka sepenuhnya. Saya sendiri sangat yakin bahwa para guru sudah berusaha secara maksimal. Yang perlu kita sadari bahwa mereka lahir di zaman yang berbeda.