Mengapa aku katakan begitu? Lihat saja kisi-kisi US SD hingga SMP. Semua bab dalam buku ajar siswa dilahapnya.
Artinya, di sebalik harapan pembelajaran yang berbasis esensi, sebenarnya guru juga tertekan oleh kurikulum, kan?Â
Jadi, tak bisa semata-mata guru yang disalahkan. Gara-garanya, kehadiran metode penugasan yang terus eksis bisa-bisa kita anggap wajar. Hahaha
Tapi tidak begitu kok. Kunci sekaligus pembeda dihadirkannya mastery learning ialah agar siswa bisa menguasai materi ajar secara tuntas, bukan sekadar menguasai nilai untuk lulus ujian sekolah maupun ujian semester. Noted!
Ketiga, Examines and Reflects on Results
Sekali lagi, pembelajaran tuntas tidak berhenti di angka 85-100 sebagai nilai penguasaan. Itu hanya nilai, bahkan siswa yang menghafal materi ajar sewaktu pembelajaran semuanya bisa dapat nilai 100.
Kalau begitu, tidak ada bedanya kita yang hari ini dengan suasana belajar pada 53 tahun lalu.
Maka darinya, agar mastery learning model sukses digelar walau dalam kondisi terbatas, penilaian guru tidak terbatas pada aspek kognitif semata melainkan juga menekankan aspek afektif.
Bagaimana hal tersebut bisa dilakukan? Ada sebuah mindset penting bahwa nilai itu tidak sekadar dicatat, melainkan juga dilacak.
Ketika guru melacak nilai, secara tidak sengaja dirinya sedang mengamati sekaligus menghargai proses siswa.Â
Sekali lagi, apalah artinya angka-angka jika esok hari siswa lupa. Sia-sia saja kita menghabiskan hingga 14 bab materi ajar dalam waktu singkat.
Alasanku Memilih Mastery Learning Model sebagai Opsi
Pembelajaran di era pandemi yang belum segera menepi ini sangat terbatas. Itulah alasan terbesarku.