Jujur saja, keputusan yang diambil secara sembrono tidaklah bagus. Sedangkan keputusan yang terlalu banyak pertimbangan juga tidak baik.
Sayangnya, beberapa orang terkadang cukup malu-malu dalam mengambil keputusan. Dari sanalah kemudian dia berdalih dengan kalimat "Coba Saya Pikir-pikir Dulu".
Mungkin dia malu, tapi mau. Atau mungkin juga dirinya tidak terlalu memercayai intuisi diri. Hemm. Jikalau seperti itu kisahnya, maka ruang gerak diri (termasuk guru) untuk berkembang semakin sempit dan kematangan semakin susah untuk diraih.
Padahal sebenarnya di manapun seorang guru berada, dirinya berhak untuk berkembang dan juga berhak untuk merengkuh kematangan. Caranya? Guru perlu menjadi sosok yang lebih bahagia sekaligus naik level.
Kematangan seorang guru perlu diasah, dan salah satu cara terbaik dalam mengasahkan ialah dengan mendongkrak "tenaga penggerak" yang ada di dalam dirinya.
Terhadap hal-hal yang bertajuk kebaikan, sudah semestinya tak perlu menghadirkan sejuta pertimbangan. Dunia memang perlu disikapi secara realisitis, tetapi guru juga perlu meninggikan intuisi.
Bukankah panggilan mengajar (dari hati) pada awalnya adalah buah dari pertimbangan atas keputusan untuk pengabdian? Jika iya, maka yang perlu dicari lagi adalah sisi mana saja yang bakal membuat seorang guru bahagia.
Apakah uang, gaji, dan jabatan? Semestinya tidak selalu begitu, sih. Toh kebahagiaan yang bernada materi hanya sementara saja. Sedangkan kebahagiaan yang awet biasanya datang dari pengabdian serta keinginan untuk berkontribusi lebih secara tulus dan penuh cinta.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H