Dulu sekali segenap kabar langit telah jatuh menghampiri bumi. Batu demi batu, kayu demi kayu, daun demi daun, lalu menjadi kertas.Â
Berita itu benar. Tidak pernah salah hingga hari esok.Â
Bagaimana langit membiru. Seperti apa tangis gemuruh memilu. Mengapa hatimu sekeras palu. Terjawab makmur dalam buku.Â
Kabar langit jadi ramai hingga diri tak sempat lagi memangku dagu.Â
Kening jadi susah terlepas dari tanah, sedangkan ubun-ubun menderu kepada langit. Ingin selalu berterima kasih atas nikmat.Â
Tapi kini, kabar langit mulai menjadi asing. Sebongkah pasir mulai akrab dengan salju. Sebidang tanah mulai dekat dengan air bah.Â
Sedangkan lidah?Â
Terus kelaparan mencerca dalil. Kehausan ingin meminum argumen kerdil. Lalu kekenyangan karena kelamaan mendengar ceramah dalam gigil.
Langit biru ingin menghitam. Sedih melihat tanah. Semakin tandus tersiram cerca.Â
Ternyata kabar langit mulai menjadi asing. Sulit menerima kebaikan walau dalam hening. Bahkan kebenaran saja diingkari demi membuat orang pening.Â