Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Jangan "Asbun" Ngomongin Jilbab! (Bagian 2: Tamat)

27 Januari 2021   21:10 Diperbarui: 28 Januari 2021   05:25 2286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada awal tulisan ini, izinkan saya menghadirkan pernyataan "asbun" dari seorang pegiat media sosial Abu Janda

"Islam memang agama pendatang dari Arab, agama asli Indonesia itu sunda wiwitan, kaharingan dan lain-lain. dan memang arogan, mengharamkan tradisi asli, ritual orang dibubarkan, pake kebaya murtad, wayang kulit diharamkan. kalau tidak mau disebut arogan, jangan injak-injak kearifan lokal," ujar Abu Janda dalam aku Twitternya, @permadiaktivis1, Senin (25/1/2021)

Benar-benar pernyataan yang bernada "kerusuhan" ini, bahkan tak bisa disanggah lagi. Di tengah kasus intoleransi yang meninggikan diksi "Jilbab", Abu Janda malah memanas-manaskan situasi dengan mengecam agama Islam menggunakan "dalil" kebaya murtad gara-gara melanggar aurat.

Di sisi yang sama, cuitan twitter berbau rasis juga dia hadirkan kepada Natalius Pigai. Tapi, sesuai judul tulisan ini, saya tidak akan mengulik lebih jauh terkait cuitan kedua. Saya akan lebih berfokus kepada pernyataan "asbun" Abu Janda yang bertutur bahwa Islam itu arogan.

Sekali lagi, pernyataan ini sungguh tak berdasar. Sejak kapan ada agama yang arogan, sedangkan dari segunung definisi, gagasan yang dapat kita petik tentang agama adalah sama, yaitu "damai". 

Tidak ada agama yang arogan, tapi kalau orang beragama yang arogan, itu banyak. Meski begitu, bukan salah agamanya, tapi salah orangnya. Tidak bisa kita menilai agama dari perilaku orangnya. Seharusnya, agama itu dinilai dari kitabnya sebagai pedoman utamanya.

Kalau dia agama Islam? Lihat Al-Qur'an, kemudian lihat Sunnah. Kalau belum cukup? Lihat pula Ijma', Qiyas, Ijtihad, Istihsan, Urf, Istishab, hingga Maslahat Mursalah. Juga, masih ada yang lain dan dari sanalah sumber hukum Islam.

Seperti halnya tradisi wayang, sejak kapan diharamkan? Kalaulah orang main wayang kulit sembari minum tuak, itu baru haram. Tradisi ini sudah lunas dikaji dari sisi Urf. Kemudian kebaya, sejak kapan orang pakai kebaya bisa murtad? Aduhai, level "asbun" tingkat tinggi ini.

Sekarang, karena kebaya yang "dirusuhkan" oleh Abu Janda berkaitan dengan aurat, maka bahasannya cukup dengan dengan jilbab.

Terang saja, jilbab seperti yang sudah saya bahas pada artikel Jangan "Asbun" Ngomongin Jilbab! (Bagian 1) merupakan perintah kewajiban untuk dikenakan oleh tiap-tiap perempuan muslim.

Jilbab bukan merupakan produk kearifan lokal Arab sebagaimana kebaya yang dimaksud oleh Abu Janda.

Artinya, jika ada seorang perempuan muslim yang mengenakan kebaya sekaligus berjilbab, maka tidak benar bila ada orang yang menganggap bahwa perempuan tadi mencampurkan kearifan budaya lokal dengan kearifan budaya Arab.

Mungkin itu gagasan tersembunyi yang ingin diributkan oleh Abu Janda. Kalau iya, berarti sudah bisa ditebak, bahwa nantinya kebaya akan diperbebatkan dengan baju gamis dan jilbab. Aih, kalau begitu, makin banyak saja kalimat "asbun" yang bakal memedihkan mata dan perasaan kita.

Terang saja, saking sayangnya dan saking niatnya Allah melindungi para perempuan, setelah turun Quran Surah An-Nuur ayat 31, Allah hadirkan pula Quran Surah Al-Ahzab ayat 59 sebagai penguat. Berikut terjemahannya:

Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Bayangkan saja, saking sayangnya Allah kepada perempuan, Allah langsung sampaikan ayat kepada Nabi untuk kemudian diberitahu kepada keluarga Nabi terlebih dahulu. Itulah tanda begitu berharga sekaligus spesialnya seorang perempuan beriman diperlakukan.

Syahdan, apakah ayat tersebut turun begitu saja? Tidak. Ada sebabnya, dan sebab itu pulalah yang dapat menjadikan kita lebih bijak dalam menggaungkan gagasan tentang jilbab, kebaya, hingga aurat. Begini asbabun Nuzul ayatnya:

Diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah ra, setelah turun perintah berjilbab, suatu ketika Saudah -- isteri Rasulullah SAW -- keluar untuk buang hajat. Lalu Umar bin Khattab ra melihatna dan langsung menegurnya. Mendengar teguran Umar, Saudah langsung berbalik pulang. Setibanya di rumah, Saudah langsung mengadu kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat tadi.

Lebih detailnya, Ustaz Adi Hidayat berkisah bahwa dulu di zaman awal Islam tidak ada toilet sehingga baik laki-laki maupun perempuan di sana biasa buang hajat di bawah pohon-pohon kurma.

Persoalannya, dulu, walaupun ada batas tempat buang hajat bagi laki-laki maupun perempuan, tetap saja masih sering terjadi pelecehan terhadap perempuan oleh para preman di kala itu (umumnya orang-orang Yahudi).

Setelah dilaporkan ke Nabi, alhasil turunlah perintah lanjutan penggunaan jilbab pada QS Al-Ahzab ayat 59.

Dalam ayat tersebut, kerudung alias kudung (Khimar) yang awalnya simpel (baca pada Surah An-Nuur ayat 31), sekarang berubah menjadi jilbab. Jilbab yang dimaksud dalam QS Al-Azhab ayat 59 adalah khimar yang lebih panjang lagi ke bawah alias melebihi dada.

Tujuannya? Diterangkan dalam tafsir ayat al-ahkam karya Syaikh Muhammad Ali Ash-Shabuni bahwa tujuan jilbab yang lebih panjang dari khimar adalah untuk melindungi dan menjaga perempuan. Jadi, bagi perempuan yang ingin mendapat cintanya Allah, maka berjilbablah.

Lebih lanjut, dalam Tafsir Al Jalalain karya Al-Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahali dan Al Imam Jalaluddin Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi diterangkan bahwa:

Jalaabiibu sebagai bentuk jamak dari kata jilbaabun yang berarti pakaian yang menutupi seluruh bagian tubuh wanita. Maksudnya, hendaklah mereka menjulurkan sebagian darinya ke wajah apabila mereka keluar rumah untuk keperluan mereka --- kecuali satu mata.

Syahdan, gunanya memanjangkan jilbab adalah agar wanita-wanita mukmin yang dimaksud lebih dikenal bahwa bahwa mereka adalah wanita-wanita merdeka (bukan budak), sehingga mereka tidak diganggu dengan godaan yang ditujukan kepada mereka.

Berbeda dengan wanita-wanita budak yang tidak menutupi wajah mereka yang kemudian diganggu oleh orang-orang munafik. Ya, sederhananya adalah, memanjangkan khimar adalah upaya wanita merengkuh keselamatan.

Jadi, sekali lagi, pernyataan bahwa jilbab yang panjangnya melebihi dada adalah budaya Arab semakin terbantahkan.

Lebih jauh, sejatinya tujuan jilbab bukan hanya sekadar untuk keselamatan atau hanya sekadar "aman digigit nyamuk" sebagaimana yang dikatakan oleh Disdik Padang.

Ya, ada banyak urgensi utama jilbab bagi seorang wanita. Mulai dari pakaian takwa, penerbit kesucian hati, penerbit rasa malu, seruan penutup tubuh, fitrah wanita, pemelihara diri dari tabarruj (pamer kecantikan), hingga penegas bahwa wanita tersebut dilindungi (merdeka).

Nah, sudah sampai di sini, Dear Abu Janda, dari sisi mananya Islam itu arogan? Dari sisi mananya kalau belum menutup aurat itu dianggap murtad?

Sejatinya, Allah Taala tidak mungkin mewajibkan suatu perkara (perbuatan) tanpa ada maslahat di sebalik kewajiban tersebut. Termasuk pula dengan kasus jilbab yang sempat riuh gegara menghadirkan intoleransi beragama.

Negara bertanggungjawab menepis intolerasi dengan menghadirkan kebijakan yang sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, serta bersandar pada Bhinneka Tunggal Ika.

Tapi khusus kepada kita umat muslim, sudah jadi kewajiban bersama untuk terus menyampaikan amanah tentang kewajiban jilbab, walaupun keluarga kita sendiri belum berjilbab, walaupun kita sendiri yang sudah berjilbab masih belum baik. Jangan malah asbun.

Salam.

Taman Baca:

Al-Quran, Dilengkapi dengan Asbabun Nuzul Ayat
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir al-Ahkam, Dibacakan Langsung Oleh UAH dalam Ceramahnya.
Al-Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al-Mahali dan Al Imam Jalaluddin Abdirahman bin Abu Bakar As-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, Diterjemahkan oleh Najib Junaidi, Surabaya: eLBA Fitrah Mandiri Sejahtera, 2015, Cet.2
Robi' 'Abdulrrouf Az-Zawawi, Fiqh Wanita, Solo: Al-Qowam, 2007
Cuitan "Rusuh" Abu Janda

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun