Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Artikel Utama

Awas! Berikut 3 Gaya Mengajar ala Sensei Nobi yang Tidak Boleh Ditiru Guru Masa Kini

18 Januari 2021   20:33 Diperbarui: 20 Januari 2021   13:00 4196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemberian Nilai. Foto: Instagram Buddy Satria

Dirimu sering menyaksikan serial Nobita dan Doraemon? Kalo iya, berarti kita sama. Aku juga sering. Hehehe. Tidak ada yang salah, sih. Soalnya manga sekaligus anime yang diracik oleh  Fujiko F. Fujio sejak tahun 1969 ini dapat dinikmati oleh semua orang tanpa memandang umur.

Bahkan, gegara alasan itulah serial Nobita dan Doraemon mampu mendulang eksis hinggalah hari ini.

Terang saja, kisah Nobita yang perjuangannya nyaris selalu dibantu oleh Doraemon sungguh penuh dengan emosi. Kadang lucu, kadang kesal, kadang bosan, kadang menggemaskan, kadang terharu, dan kadang pula iri dengan alat-alat super Doraemon yang datang dari abad ke-22.

Tapi, di sini aku tidak akan bercerita lebih jauh tentang apa-apa saja alat canggih di dalam kantong Doraemon. Apalagi ingin bertemu denganmu menggunakan pintu ke mana saja. Eh.

Maksudnya, aku ingin melirik sedikit lebih fokus kepada Sensei alias Pak Guru Nobi yang berperan sebagai Guru SD. Ya, sekilas tidak ada yang aneh dengan gerak-gerik Sensei Nobi. Bahkan, kegiatannya yang sesekali mampir ke rumah orangtua siswa patut diacungi jempol.

Tapi, menimbang keadaan hari ini, menurutku ada beberapa karakter sekaligus gaya mengajar Pak Guru Nobi yang tidak boleh lagi kita tiru.

Secara, era Merdeka Belajar tidak lagi sama dengan era 90-an. Terlepas dari banyaknya pengakuan bahwa pembelajaran era 90 hingga 2000-an mampu mendulang nilai efektifitas yang tinggi, sayangnya pengakuan tersebut tidak cocok lagi dengan gaya belajar generasi Z dan Aplha.

Maka dari itulah, berkaca dari serial Doraemon yang terus merengkuh eksistensi hingga sekarang, tercatat ada 3 gaya mengajar ala Sensei Nobi yang rasanya tak boleh lagi ditiru oleh guru masa kini.

Pertama, Pak Guru Nobi Sering Menghukum Siswa

Cosplay Nobita dihukum di lorong kelas. Foto:Masahiro via Tribunnews
Cosplay Nobita dihukum di lorong kelas. Foto:Masahiro via Tribunnews

Benar. Benar sekali bahwa Sensei Nobi sering menghukum siswa SD, terutama Nobita. Pak Guru Nobi dalam setiap episode serial Doraemon hampir selalu menghukum Nobita untuk berdiri di depan lorong kelas. Kalau tidak disuruh berdiri, Nobita diminta menyapu kelas.

Gara-gara hal tersebut, jelas saja Nobita merengek, mengomel, bahkan menangis hingga sampai ke pangkuan Doraemon.

Meskipun karakter yang diperankan Nobita adalah sosok anak SD yang serba malas, tetap saja pemberian hukuman seperti yang disebutkan tadi tidak cocok lagi di hari ini.

Ya, barangkali di sepanjang tahun 2000-an masing-masing dari kita masih sering menerima hukuman berupa tepisan mistar, pukulan kayu rotan, bahkan cubitan. Tetapi, kita dulu cenderung patuh dan takut dengan guru.

Sedangkan hari ini? Kalau siswa sering dihukum, maka bisa gawat. jangan-jangan mereka malah menyimpan dendam, atau bahkan enggan menaruh perhatian setiap kali belajar dengan guru A. Hemm.

Di era merdeka belajar, maka hukuman terhadap siswa juga perlu dimerdekakan alias disingkirkan. Jadi, cukuplah Pak Guru Nobi saja yang sering menghukum Nobita.

Kedua, Selalu Memberikan PR

Ilustrasi banyak PR. Gambar oleh gabrielaparino dari Pixabay
Ilustrasi banyak PR. Gambar oleh gabrielaparino dari Pixabay

Nah, untuk gaya mengajar yang satu ini, Bapak/Ibu Guru boleh setuju, boleh pula tidak. Hanya saja, kalau kita berkaca dari dampak yang diterima oleh Nobita gegara diberi banyak PR tiap hari oleh Pak Guru Nobi, maka gaya mengajar yang seperti ini patut untuk ditinggalkan.

Terang saja, rasanya ada sekian banyak episode yang mengisahkan tentang hasrat Nobita yang ingin mencontek bahkan menyalin total PR yang dikerjakan oleh Sizuka. Bahkan, di sisi yang sama, Nobita juga sering dimarahi oleh Ibunya gara-gara lebih memilih main daripada buat PR.

Dilema, sih, sebenarnya. Ketika kita menilik PR dari satu sisi, jelas hal tersebut mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap siswa. Setidaknya, siswa bakal membuka kembali buku pelajarannya ketika sudah sampai di rumah.

Tapi, di sisi lain, PR malah terkesan jadi bumerang. Lihat saja berita pembelajaran di era pandemi yang mencuat di dunia maya maupun nyata. Kisahnya tidak jauh-jauh dari permasalahan kebosanan sekaligus kejenuhan siswa gegara hadirnya PR yang menumpuk.

Imbasnya, niat baik menghadirkan PR malah berakibat minor bagi siswa. Maka dari itulah secara pribadi aku tidak setuju jikalau sekolah itu banyak PR.

Terang saja, seingatku pada tahun 2018 lalu Pak Muhadjir Effendy selaku Mendikbud sempat menggaungkan saran agar sekolah tak lagi memberi PR kepada siswa. Alasan sekaligus inginnya adalah, pembelajaran perlu digelar secara tuntas. Tidak pakai PR lagi.

Nah, setuju atau tidak sejatinya bukanlah soal. Yang penting, kalaupun guru memberikan PR, jangan terlalu banyak. Soalnya siswa hanyalah anak kecil yang belum hebat dalam memanajemen waktu. Hehehe

Ketiga, Memaksa Siswa untuk Mendapatkan Nilai yang Tinggi

Ilustrasi pemberian Nilai. Foto: Instagram Buddy Satria
Ilustrasi pemberian Nilai. Foto: Instagram Buddy Satria

Nah, karakter mengajar Sensei Nobi yang juga tidak boleh ditiru oleh guru adalah penyimpangan orientasi terhadap nilai.

Kalau kita sejenak duduk manis minum kopi pahit sembari menonton serial Nobita, akan tampaklah banyak adegan Pak Guru Nobi yang memarahi Nobita gegara dapat nilai nol. Bahkan, ketika Nobita bersenang hati mendapat nilai 35 saja masih dimarahi oleh Sensei. Hemm

Kasihan Nobita, dan lebih kasihan lagi jikalau di dunia nyata pendidikan kita masih ada guru yang seperti itu. Bagaimana tidak kasihan, menurutku, anak-anak rela melangkahkan kedua kakinya menuju sekolah saja aku sudah merasa senang.

Terang saja, di luar sana, terlebih lagi di daerah pelosok, banyak anak-anak yang malas untuk sekolah. Sudah datangnya malas, tidak diperhatikan oleh orangtuanya pula! Harusnya orangtua yang sedih, eh, ini malah guru. Gurunya sedih karena siswa yang dinanti tak kunjung datang.

Di era merdeka belajar alias era kekinian, rasanya keinginan anak untuk belajar sudah patut diacungi jempol dan diarahkan kepada jalan yang benar. Tak perlu bebani mereka dengan standar alias KKM nilai tertentu.

Soalnya masing-masing siswa berbeda, dan perbedaan itu pula yang menjadi nilai lebih mereka. Ada siswa yang hebat di pelajaran Matematika, hebat di bidang Seni dan Budaya, hebat di bidang Agama, maka jangan marahi mereka ketika nilai IPA maupun IPS-nya rendah.

Biar saja, tidak harus menuntut siswa untuk sempurna di semua bidang. Benar bahwa "Knowledge is Power", tapi rasanya insight yang dimaksud di sini tidaklah selalu bersandar pada nilai akademik yang menjulang.

Maka dari itulah, daripada ikut-ikutan gaya Pak Guru Nobi yang senantiasa mengajar dan menuntut ponten PR yang tinggi, mendingan kita mengajar dan mulai mendekati siswa dari nilai lebihnya. Di dunia nyata, terlebih lagi sekarang, jalan tersebut sangat baik untuk ditempuh.

***

Barangkali, selain daripada 3 gaya mengajar di atas, ada beberapa gaya lain yang ditonjolkan oleh Sensei Nobi. Tapi, hal tersebut tidaklah selalu penting. Dalam sebuah serial, yang terpenting adalah, para penontonnya mampu memetik anjuran kebaikan serta membuang segala yang jelek.

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun