Gara-gara hal tersebut, jelas saja Nobita merengek, mengomel, bahkan menangis hingga sampai ke pangkuan Doraemon.
Meskipun karakter yang diperankan Nobita adalah sosok anak SD yang serba malas, tetap saja pemberian hukuman seperti yang disebutkan tadi tidak cocok lagi di hari ini.
Ya, barangkali di sepanjang tahun 2000-an masing-masing dari kita masih sering menerima hukuman berupa tepisan mistar, pukulan kayu rotan, bahkan cubitan. Tetapi, kita dulu cenderung patuh dan takut dengan guru.
Sedangkan hari ini? Kalau siswa sering dihukum, maka bisa gawat. jangan-jangan mereka malah menyimpan dendam, atau bahkan enggan menaruh perhatian setiap kali belajar dengan guru A. Hemm.
Di era merdeka belajar, maka hukuman terhadap siswa juga perlu dimerdekakan alias disingkirkan. Jadi, cukuplah Pak Guru Nobi saja yang sering menghukum Nobita.
Kedua, Selalu Memberikan PR
Nah, untuk gaya mengajar yang satu ini, Bapak/Ibu Guru boleh setuju, boleh pula tidak. Hanya saja, kalau kita berkaca dari dampak yang diterima oleh Nobita gegara diberi banyak PR tiap hari oleh Pak Guru Nobi, maka gaya mengajar yang seperti ini patut untuk ditinggalkan.
Terang saja, rasanya ada sekian banyak episode yang mengisahkan tentang hasrat Nobita yang ingin mencontek bahkan menyalin total PR yang dikerjakan oleh Sizuka. Bahkan, di sisi yang sama, Nobita juga sering dimarahi oleh Ibunya gara-gara lebih memilih main daripada buat PR.
Dilema, sih, sebenarnya. Ketika kita menilik PR dari satu sisi, jelas hal tersebut mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap siswa. Setidaknya, siswa bakal membuka kembali buku pelajarannya ketika sudah sampai di rumah.
Tapi, di sisi lain, PR malah terkesan jadi bumerang. Lihat saja berita pembelajaran di era pandemi yang mencuat di dunia maya maupun nyata. Kisahnya tidak jauh-jauh dari permasalahan kebosanan sekaligus kejenuhan siswa gegara hadirnya PR yang menumpuk.
Imbasnya, niat baik menghadirkan PR malah berakibat minor bagi siswa. Maka dari itulah secara pribadi aku tidak setuju jikalau sekolah itu banyak PR.