Di sisi lain, pandemi 2021 belum tahu mana ujungnya. Jadi, tidak melulu kita harus menunggu atau menuntut kepada pemerintah agar bergegas menggelar pembelajaran tatap muka. Tatap muka itu penting (sangat), tapi hari ini keefektifan PJJ juga begitu diharapkan.
Dengan demikian, ada beberapa hal penting yang harus guru siapkan, bukan? Tentu saja. Tapi, apakah cukup dengan menyiapkan silabus, RPP, jadwal pelajaran, materi ajar, hingga sistem penilaian?
Rasanya belum cukup.
Sebagai guru, kita perlu menata mindset, mengenal karakter generasi Z dan Alpha, serta meluruskan persepsi mengajar tanpa harus menuduh media sosial dan game online sebagai pihak tersalah yang mengurangi efektivitas pembelajaran.
Generasi Z, dikisahkan bahwa generasi ini merupakan peralihan dari generasi milenial. Rentang tahun kelahirannya ialah mulai dari tahun 1995-2010. Artinya, minimal siswa kelas 5 SD sudah termasuk dalam kategori Z.
Karakteristiknya? Ya, generasi Z suka main media sosial, merengkuh banyak likes dan followers demi menaikkan popularitas. Hal ini terbukti, karena sudah ada beberapa siswa SD yang rajin dan iseng bertamu ke akun messenger-ku. Kadang, aku sampai jengkel, sih. Banyak spam!
Syahdan, generasi Alpha, ialah mereka yang lahir pada rentang tahun 2011-sekarang. Ciri khas mereka ialah sudah akrab dengan gawai, bahkan sejak balita. Tanpa ada gawai di tangan, generasi Alpha sering menangis, bahkan lenyap mood-nya ditelan kegalauan. Hiks
Nah, pertanyaannya, bagaimana cara kita sebagai guru menghadapi siswa generasi Z dan A saat kembali belajar di tahun ini?
Kalau kita menyalahkan kehadiran teknologi berupa game online, media sosial hingga YouTube, rasanya skenario pembelajaran tidak akan berjalan maksimal. Alasannya cuma satu, bahwa hadirnya teknologi bukanlah kesalahan, sehingga kita tak dapat menyalahkannya.
Maka dari itulah, 4 persepsi berikut ini perlu kita coret sekaligus menggantinya dengan mindset baru sesuai keinginan generasi Z dan Alpha.
Mudah bin Cepat Bosan BelajarÂÂ Perlu Konteks Nyata