Di depanku tampak ada perempuan tua yang sedang bersolek. Rambutnya terbentang indah menutup gersangnya tanah. Aku takjub.
Bibirnya pun begitu. Sebentar kemarau, sebentar hujan. Tapi rona lipstik menepis gundah bahwa pemandangan itu sebenarnya tidak pancaroba.
Perempuan tua itu masih bersolek. Keriput di sekujur wajah ia poleskan dengan bedak yang tebal, menutupi bercak dan kerut-kerut kezaliman.
"Itu hanyalah sebuah fenomena. Cukup refleksikan saja!"
Tutur dari pita suara yang telah renta seakan membuat dirinya jadi semakin gadis. Penuh cinta, padahal rimpuh. Bebas komedo, padahal sepuh.
Lagi-lagi perempuan tua itu masih tampak sedang bersolek. Ia melihat gunung meletus, tsunami, tanah longsor, orang mati, orang korupsi, lalu kemudian senyum lagi.
Aduhai! Cantikmu membutakan. Seakan tidak ada yang salah dari dirinya.
Aku heran. Perempuan itu seperti sebuah misteri. Sudah tua, tapi tidak pernah bosan berdandan lagi. Sebelum ikut merasa tua, Ibuku menjelaskannya.
"Iya, Nak. Dunia sudah tua, tapi dia tetap ingin menampakkan dirinya muda."
Curup, 29 Desember 2020