Rasanya, tanpa dihadirkan survei pun anak-anak pasti ingin segera masuk sekolah. Tidak ada alasan lain, karena sesungguhnya tingkat kejenuhan PJJ itu lumayan tinggi. Apalagi kalau tugas yang diberikan guru cukup banyak, dan anak tadi suka menumpuk tugas. Ah, komplit akhirnya.
Meski demikian, kalau kita renungkan sejenak dan lebih jauh, agaknya persoalan setuju, ragu-ragu, atau bahkan tidak setuju bukanlah masalah yang krusial.
Terang saja, jika kita kembali mengamati pedoman pembukaan sekolah semester genap (Januari 2021) yang dirilis oleh Kemendikbud pada akhir November 2020 kemarin, tergambar jelas bahwa pembukaan sekolah secara tatap muka butuh izin dan berdasarkan situasi di lapangan.
Artinya, walaupun sudah ada perluasan izin pembukaan sekolah lewat Pemda setempat, bukan berarti Pemda yang dimaksud bisa seenaknya membuka sekolah, atau malah mewajibkan agar sekolah dibuka sesuai dengan amanat Mas Mendikbud.
Itu pemahaman yang keliru. Dan mirisnya pemahaman tersebut terus bergaung di berbagai media berita online, bahkan ikut disuarakan oleh pihak MPR.
Padahal, inti masalahnya bukanlah soal tatap muka maupun daring, melainkan keefektifan pembelajaran yang kemudian disesuaikan dengan situasi di lapangan.
Kalau di lapangan kasus pandemi masih melonjak, maka PJJ lebih aman. Sedangkan kalau di lapangan kasus pandemi sudah mereda, opsi pembelajaran tatap muka bisa ditempuh, tentu dengan protokol kesehatan yang berlaku.
Daripada berdebat soal setuju dan tidak setuju dengan pembukaan sekolah, mendingan semua pihak memunculkan inovasi sistem pembelajaran demi keberhasilan pendidikan di tahun 2021, kan?
Seharusnya, itu poin utamanya.Â
Lagi-lagi kita semua menyadari bahwa PJJ itu penting, tetapi pembelajaran tatap muka tetap dibutuhkan.