Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tahun 2020 Sudah Mau Habis, Saatnya Kita "Melek-melek" tentang Pendidikan

26 Desember 2020   07:33 Diperbarui: 26 Desember 2020   19:23 1178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2020 barangkali cukup "suram" bagi eksistensi pendidikan di Bumi Pertiwi tercinta. Bagaimana tidak suram, berbagai masalah terkait pelaksanaan pembelajaran di tiap satuan pendidikan muncul silih berganti.

Sebut saja seperti ditemukannya sekolah-sekolah yang belum terjamah oleh listrik, belum dimasuki sinyal internet, hingga segenap mahasiswa yang mengaku "tepar" menghadapi segunung tugas kuliah.

Terdengar begitu berat, kan? 

Kenyataannya memang begitu. Dan di sebalik keberatan ini, kurang bijak rasanya jika stakeholder pendidikan di Indonesia cuma berlindung dengan alasan "pandemi".

Di awal-awal kisah datangnya corona, mungkin alasan kesulitan adaptasi bisa diterima. Tapi kalau sudah lewat 9 bulan? Senada dengan perempuan hamil, bahwa pemangku kepentingan semestinya sudah melahirkan "buah hati" alias solusi apik bagi sekelumit masalah pendidikan.

Sekarang, tahun 2021 sudah hampir menjelang. Artinya, pembelajaran semester genap akan segera bergulir.

Entah nanti pembelajaran di tiap-tiap satuan pendidikan digelar secara tatap muka atau malah tetap daring, sebenarnya hal tersebut bukan masalah lagi ketika kita semua menyempatkan diri untuk "melek-melek" pendidikan serta memetik resolusi mendalam darinya.

Apa itu "melek-melek"? 

Di kotaku (Curup, Bengkulu), kegiatan "melek-melek" biasanya dilakukan ketika tetangga atau kerabat dekat ingin menggelar hajatan. Aktivitas ini biasanya dilakukan di malam hari, yaitu berupa diskusi secara fokus hingga santai terkait kesuksesan acara hajatan.

Namun, di sisi yang sama kita juga kerapkali mendengar kata-kata "melek aksara", kan? Yang berarti bahwa di dalam kata "melek" terkandung makna kemampuan alias kompetensi.

Karena tahun 2020 sudah mau berakhir, agaknya ini kesempatan yang baik bagi para siswa, guru, orangtua, hingga pemerintah untuk melek-melek beberapa hal tentang pendidikan. Mas Mendikbud saja baru-baru ini sibuk mencari Wamendikbud, kan? Meskipun belum dapat. Hehehe

Saatnya kita
Saatnya kita "melek-melek" pendidikan. Foto Diolah dari Gerd Altmann/iXimus dari Pixabay

Melek Literasi Plus Literasi Digital

Literasi anak bangsa bahkan masyarakat Indonesia secara umumnya masih dianggap rendah, kan? Lagi-lagi skor PISA bisa jadi patokan, patokan bahwa ketercapaian anak-anak muda generasi bangsa masih berada di bawah rata-rata skor negara peserta (OECD).

Lebih dari itu, di bidang literasi digital pun sama. Tidak yang teruna, tidak yang dewasa, aktivitas melek literasi digital juga masih cukup mengkhawatirkan. Buktinya?

Partisipasi netizen di berbagai media sosial barangkali bisa menjadi bukti, bukti bahwa eksistensi media digital kekinian tidak dibarengi dengan peningkatan literasi sekaligus etika berdigitalisasi.

Ilustrasi Medsos. Gambar oleh Photo Mix dari Pixabay
Ilustrasi Medsos. Gambar oleh Photo Mix dari Pixabay

Lihat saja sebagian besar komentar di kolom Facebook maupun Twitter tentang sebuah gagasan alias opini. Tidak "pandang bulu" lagi komentarnya, alias tidak pakai baca isi.

Bagi para penulis alias pencetus gagasan, hal ini mungkin bisa dibilang keterlaluan banget, ya. Bagaimana tidak, kecenderungan para pembaca sekarang saja sudah bergaya F-shaped pattern, apalagi kalau ditambah dengan aktivitas malas berliterasi. Sungguh kabar yang buruk.

Alhasil, gaungan dan gerakan literasi plus literasi digital sejatinya tak boleh padam.

Biar bagaimana pun, membaca adalah kunci bagi semua pelaku pendidikan untuk memahami sebuah fenomena. Bahkan, membaca juga merupakan fondasi utama bagi seseorang agar dapat berkomentar secara bijaksana.

Melek Orientasi Pembelajaran

Hari demi hari telah berlalu, begitu pula dengan silih bergantinya kurikulum. Rasanya, perlahan kita semua mulai menyadari bahwa nilai dari ranah kognitif sudah tak terlalu penting lagi. Maksudku, tak selalu menjadi rujukan lagi, baik di dunia pendidikan maupun pekerjaan.

Nilai kognitif hari ini sangat mudah dicari, juga sangat mudah untuk diberi. Beda dengan life skills dan soft skills. Keduanya perlu diasah melalui kebiasaan, sedangkan kebiasaan yang dimaksud juga perlu berangkat dari perubahan orientasi pembelajaran.

Hadirnya Mas Nadiem selaku Mendikbud muda visioner agaknya menjadi kabar baik bagi pendidikan.

Selain karena kursi jabatan beliau yang sepertinya sudah aman dari aksi reshuffle, Mas Nadiem juga sangat sering menegaskan bahwa orientasi pembelajaran didasarkan atas kebutuhan siswa.

Ya, sederhananya seperti ajakan agar guru mengajar sesuai dengan apa yang dibutuhkan anak-anak di sekolah sekaligus di dunia nyata.

Kurikulum Darurat yang terbit sejak Agustus kemarin rasanya telah menjadi arahan khusus agar guru, orangtua, hingga siswa melakukan bimbingan dan pembelajaran yang disandarkan atas kebutuhan esensial sehari-hari. 

Kurikulum Darurat. Dok. Kemendikbud
Kurikulum Darurat. Dok. Kemendikbud

Lagi-lagi ini merupakan kabar baik, meskipun masih sekadar teori.

Sudah ada keseriusan lebih lanjut tentang perkara melek orientasi pembelajaran dari pihak pemangku kepentingan pendidikan. Sedangkan dari tiap-tiap satuan pendidikan, sistem UN dan ranking kelas pun sudah dihapus. Seiring sejalan, feed back-nya akan benar-benar terasa.

Melek Sistem Pembelajaran

Eksistensi pandemi yang memasuki usia 10 bulan ini agaknya mengajak kita untuk semakin banyak bercerita. 

Terang saja, hadirnya bencana menyebabkan stakeholder di sektor pendidikan harus buru-buru beradaptasi. Jika tidak, barangkali wajah pendidikan kita bakal semakin kusam.

Atas dasar inilah kemudian kita para siswa, mahasiswa, guru, dosen, hingga orangtua "dipaksa" akrab dengan teknologi sekaligus sistem pembelajaran jarak jauh.

Sebagian praktisi mungkin berpendapat bahwa PJJ bukanlah hal baru. Itu benar, aku tak menyanggah, karena jauh sebelum pandemi aku juga sempat mengikuti pelatihan LMS (Learning Management System) bersama para guru. Meskipun penerapannya masih terkendala.

Namun, dalam beberapa bulan terakhir ini, pendidikan kita cukup sering dibuat dilema antara mau menggelar sistem pembelajaran tatap muka atau sistem pembelajaran jarak jauh saja.

Alasan mengapa Pembelajaran Tatap Buka perlu segera digelar. Dok. Kemendikbud
Alasan mengapa Pembelajaran Tatap Buka perlu segera digelar. Dok. Kemendikbud

Berbulan-bulan perdebatannya tak kunjung berakhir dengan bersandar pada alasan kesehatan dan psikososial. Padahal, kedua alasan ini tak bisa saling bentur maupun saling sikut, hanya perlu diselesaikan dengan menghadirkan opsi baru di luar PJJ maupun pembelajaran tatap muka.

Dari sana, alhasil lahirlah pilihan baru sebagai perwujudan dari melek sistem pembelajaran. Sebut saja seperti kegiatan guru kunjung, kelompok belajar kecil, hingga blended bin hybrid learning.

Terdengar cukup baru, kan? 

Agaknya aktivitas melek orientasi pembelajaran akan sangat mantap ketika disandingkan dengan melek sistem pembelajaran. Meski begitu, penyandingan keduanya perlu didasari dari kebijaksanaan guru maupun orangtua siswa.

Sebagai contoh, ketika sistem pembelajaran digelar secara tatap muka, guru mungkin bisa mengontrol konsentrasi siswa bahkan secara dominan. Meskipun pada dasarnya konsentrasi pelajar akan semakin pecah seiring dengan angka jam dinding yang semakin siang.

Kemampuan Konsentrasi Siswa Menurut Umurnya. Dok. Ozy V. Alandika/Sumber data: Kompas/2020
Kemampuan Konsentrasi Siswa Menurut Umurnya. Dok. Ozy V. Alandika/Sumber data: Kompas/2020

Tapi, di era PJJ, kontrol konsentrasi siswa jadi terbatas karena pertemuan yang digelar juga punya batas. Belum lagi dengan permasalahan teknis tak terduga lainnya.

Alhasil, siswa usia 10 tahun yang tadinya memiliki rentang konsentrasi selama 20-30 menit bisa saja berubah menjadi 10 menit. Alasannya? Mungkin sinyal internet lemah, atau video pembelajarannya kabur.

Kalau sudah begitu, sudah pasti metode mengajar ceramah lama-lama sudah tak efektif lagi. adapun orientasi mengajar yang perlu digaungkan adalah menempatkan guru sebagai motivator, fasilitator, mediator, bahkan juga moderator.

Dengan begitu, apapun sistem pembelajarannya tidak akan jadi masalah.

Melek Lapangan

Sebagai seorang guru, melek lapangan itu penting. Guru perlu mengenal bagaimana kondisi sekolahnya, kondisi siswanya, hingga kondisi rekan kerja demi memudahkan pencapaian tujuan pendidikan.

Pun demikian dengan melek lapangan secara virtual. Guru pula perlu mengenal bagaimana kondisi siswa dan orangtua, apakah akses pendidikan bisa didapatkan semua, atau malah setengahnya saja. Hal ini sangat krusial, bahkan butuh sedikit observasi yang serius.

Jika tidak? 

Muncullah keluh dari orangtua bahwa anaknya kesusahan bahkan tidak bisa belajar daring. Alasannya, bisa karena faktor sinyal dan faktor ketidaktersediaan perangkat untuk akses pembelajaran.

Sejatinya solusi terbaik adalah pemerataan sinyal. Tapi itu bukanlah solusi yang bimsalabim alias bisa dikabulkan secepat kilat.

Maka dari itulah, melek lapangan sangat penting bagi guru, agar mereka bisa memutuskan sistem pembelajaran dengan bijaksana. Dengan atau tanpa adanya pandemi.

Di sisi yang lain, pemerintah terutama dari Kemendikbud dan Disdik daerah juga demikian.

Mereka perlu melek lapangan, melihat kebutuhan-kebutuhan khusus dan mendesak di lapangan ketika pandemi, serta mengkaji faktor-faktor mengapa kebijakan pendidikan tidak jalan (misalnya).

Jika tidak melek dengan lapangan, bagaimana? Mungkin pemerintah akan bersikap seperti Mas Mendikbud yang sempat kaget atas ketimpangan pendidikan Indonesia, bahwa masih ada daerah di Bumi Pertiwi tercinta yang tidak tealiri listrik.

ilustrasi tak ada listrik. Gambar oleh Pexels
ilustrasi tak ada listrik. Gambar oleh Pexels

Lagi-lagi tak mengapalah. Lebih baik kagetnya sekarang, daripada kaget di akhir masa jabatan. Kan gaswat!

Bahkan, malah lebih bagus jika Mas Mendikbud maupun para pemangku kepentingan pendidikan lainnya sering kaget-kagetan gegara survei ke lapangan. Itu artinya mereka telah berusaha melek lapangan pendidikan, sehingga akan ada kebijaksanaan baru sebagai sebuah penyelesai masalah.

***

Demikianlah sajian "melek-melek" pendidikan yang bisa dihadirkan dalam tulisan ini. Barangkali masih banyak aktivitas melek pendidikan di sektor lainnya yang belum tertuang di sini.

Meski begitu, harapan kita tetap sama, yaitu pergantian tahun tidak hanya berkisah tentang angka 0 yang berganti menjadi 1 (2021), melainkan perlu diikuti dengan perubahan-perubahan yang nyata, tidak sekadar retorika.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun