Mohon tunggu...
Ozy V. Alandika
Ozy V. Alandika Mohon Tunggu... Guru - Guru, Blogger

Seorang Guru. Ingin menebar kebaikan kepada seluruh alam. Singgah ke: Gurupenyemangat.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mulailah Mengajar dari Afeksi, Baru Kemudian Kognisi

15 Desember 2020   17:04 Diperbarui: 16 Desember 2020   06:24 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahkan, hal tersebut juga dibuktikan dengan perbandingan skor PISA 2019 dari segi literasi Membaca, Matematika, dan Sains. Skor Membaca pelajar kita berada di angka 371, Matematika 379, dan Sains sebesar 396.

Sepintas, literasi Numerasi dan Sains agaknya mendulang lebih banyak praktikum serta sintesis bila kita bandingkan dengan literasi membaca. Artinya, kesimpulan sederhana yang bisa kita raih adalah, literasi membaca siswa akan naik ketika dipadukan dengan praktik dan sintesis.

Hatta, guru perlu mulai dari mana?

Mulailah Mengajar dari Afeksi, Baru Kemudian Kognisi

Ketika masuk kelas, barangkali rutinitas yang selama ini guru lakukan masih berkisar pada kegiatan ucap salam, sapa sembari mengecek daftar presensi, kemudian langsung bertanya kepada siswa "Minggu kemarin belajar apa, Nak?" atau "Buka buku pelajaran halaman sekian!"

Dengan urutan pendekatan mengajar yang konvensional seperti itu, maka dengan berat hati saya katakan bahwa "bakal susah meraih perhatian siswa". Gaya bahuela tersebut begitu berasa kognisi, dan derajat kesesuaiannya dengan era merdeka belajar sudah hampir tenggelam.

Maksudnya, para pelajar hari ini akan sangat susah jika harus didekati dari sisi kognisi. Kelas baru dimulai, eh, mereka sudah dikasih setumpuk materi dan diminta untuk memahami, menalar, hingga menganalisa. Bisa-bisa langsung sakit kepala.

Bagaimana tidak sakit, lihat saja urutan alias tingkatan Taksonomi Bloom. Kalau sudah berbau kognitif, maka selanjutnya akan ada tingkatan hafalan dan pemahaman. Kalau dari awal perhatian siswa sudah setengah hati, maka bisa gaswat.

Untuk mengantisipasi kegawatan ini, mau tidak mau guru perlu datang dari ranah lain. Jangan dari sisi kognitif, melainkan dari ranah afektif.

Di awal masuk kelas, jangan langsung ajak siswa berpikir yang berat-berat, tapi sentuh saja mereka dari sisi perasaan dan emosi. Atau, yang lebih dikenal dengan afeksi.

Contohnya? Bagi para guru kelas alias guru SD, rasanya mereka sudah mengenal betul mengapa kurikulum yang disajikan dengan berbagai mata pelajaran secara terpisah harus diganti menjadi pembelajaran tematik.

Sejauh pandang saya, pergantian tersebut adalah upaya pemerintah untuk mengajak guru mengubah gaya mengajarnya. Dari yang sebelumnya fokus kepada aspek kognitif di awal materi, diubah menjadi afektif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun