Seperti apapun kondisi dan situasi saat ini, kegiatan mengajar selalu menemui tantangannya. Entah itu pandemi, keterbatasan fasilitas, hingga perubahan kebijakan pemerintah dalam negeri, masing-masing darinya terkadang menyebabkan efektivitas pengajaran jadi pasang surut.
Termasuklah soal perhatian siswa, baik di kelas tatap muka maupun kelas virtual. Di era merdeka belajar, saya kira mendapatkan perhatian siswa dalam mengajar tidak selalu mudah.
Terkadang gurunya berenergi, tapi materi ajarnya penuh dengan diksi-diksi kognisi. Bikin pusing kepala siswa, juga membuat mereka enggan untuk memfokuskan perhatian. Alasannya? Tidak jarang siswa yang sudah berasumsi bahwa nantinya materi ajar yang dimaksud pasti dihafal.
Padahal? Benar-benar dihafal! Hahaha.
Yang jelas, bukan salah materi ajar, sih. Memang, ada sejumput pelajaran yang wajib untuk dihafal. Katakanlah seperti dalil, rumus, hingga tutorial membuat sesuatu.
Meski begitu, sifat hafalan di sini tidak sebatas ingat hari ini tapi minggu depan lupa, melainkan untuk sampai ke tahap sintesa.
Nah, permasalahannya hari ini adalah:
"Mengapa materi ajar yang bersifat hafalan seringkali tidak lengket di memori jangka panjang siswa?"
"Mengapa siswa sudah jenuh bin bosan duluan ketika berhadapan dengan materi pelajaran yang lebih tebal bukunya?"
"Mengapa siswa cenderung susah menaruh perhatian terhadap materi ajar yang jarang praktiknya?"
Salah satu jawaban terbaik yang mungkin perlu saya gaungkan adalah dari sisi pendekatan mengajar guru.
Terang saja, selama ini, fenomena yang sering kita jumpai di lapangan adalah, kebanyakan siswa lebih menyukai buku warna-warni bergambar daripada buku yang penuh dengan kata-kata.
Syahdan, siswa juga lebih suka praktik, lebih suka terjun ke "lapangan" ajar daripada duduk manis di kelas.